Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ternyata Mereka Bahagia Tinggal di Ibu Kota

29 September 2016   01:26 Diperbarui: 29 September 2016   04:50 1460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://chairulsinaga.blogspot.co.id/

Lari kota Jakarta / Lupa kaki yang luka / Mengejek langkah kura kura / Ingin sesuatu tak ingat bebanmu / Atau itu ulahmu kota/ Ramaikan mimpi indah penghuni. -Berkacalah Jakarta, Iwan Fals

Saya tiba-tiba ingat Jakarta. Atau karena lagu Berkacalah Jakarta mengingatkan saya pada satu kota bernama Jakarta. Atau aroma Pilkada DKI 2017 makin terasa tajam. Entahlah, pokoknya saya ingin menulis tentang Jakarta.

Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah perkembangan kota yang tidak terkendali akan menciptakan paradoks urban, yaitu munculnya kantong-kantong kemisikinan baru. Ya, Jakarta menjadi kantong besar kemiskinan baru, tercecer di setiap sudut kota. Sebagaimana kerap dijumpai di kota-kota besar Indonesia, ketimpangan tampak begitu nyata. Ada wajah kemajuan, ada pula wajah kemunduran. Ada kehidupan di gedung-gedung tinggi, ada pula kehidupan di kolong jembatan. Apakah Jakarta atau sejumlah kota besar lainnya di Indonesia layak disebut kota berkelanjutan (suistinable city)?

Adalah Richard Register orang yang pertama kali mencetuskan ide kota berkelanjutan. Konsep tersebut dituangkan dalam buku berjudul Ecocity Berkeley: Building City for Healthy Future. Menurut Register pembangunan di sebuah kota hendaknya tidak hanya memperhatikan dan memperhitungkan sisi ekonomi saja, tetapi juga kualitas hidup manusia. Visi serupa juga dikembangkan oleh Paul F. Downtown pendiri perusahaan Ecopolis Pty Ltd.

Suistinable city menawarkan visi pembangunan kota yang memperhatikan keseimbangan harmonis antara perkembangan kota dengan perkembangan lingkungan yang diharapkan akan meningkatkan kualitas hidup penghuninya. Manusia tidak bisa melepaskan diri dari keseimbangan alam dan lingkungan. Begitu keseimbangan tersebut njomplang, selain akan memanen musibah, kualitas hidup manusia yang dibangun melalui sejumlah aspek seperti ekonomi, pendidikan, budaya akan mengalami penurunan pula.

Secara sederhana, visi kota berkelanjutan adalah menata kembali, menciptakan kembali, mengupayakan kembali berbagai aspek keseimbangan hidup di sebuah kota.

Bagaimana dengan Jakarta? KOMPAS.com menulis, Jakarta menempati posisi sepuluh terbawah dalam indeks kota berkelanjutan atau Sustainable Cities Index 2015 yang dirilis ARCADIS. Ibu kota Indonesia ini sejajar dengan Doha, Moskow, Jeddah, Riyadh, Manila, Mumbai, Wuhan, New Delhi, dan Nairobi.

Sedangkan pada 2016 Indeks kota berkelanjutan rilisan Arcadis menempatkan Jakarta, sebagai ibu kota Indonesia pada peringkat ke-88 dalam daftar tersebut.

Ada tiga sub indeks yang menjadi patokan pengukuran Arcadis, yakni People, Planet, dan Profit. Pengukuran People atau orang diukur berdasarkan kesehatan, edukasi, keseimbangan kehidupan kerja, ruang hijau di dalam kota, hingga transportasi. Pengukuran Planet melihat pada pembagian energi terbarukan, siklus daur ulang, emisi gas rumah kaca, risiko bencana alam, sanitasi, tingkat polusi udara, ketersediaan air minum, hingga konsumsi energi kota. Pengukuran Profit dilihat dari kemampuan sebuah kota dalam perspektif bisnis, kemudahan melakukan bisnis, biaya hidup, penggabungan transportasi, kepemilikan properti hingga efisiensi energi.

Jakarta beserta kota-kota berkembang lainnya hanya fokus pada keberlanjutan ekonomi (Profit), sedangkan People dan Planet terabaikan.

Pembangunan yang fokus pada keberlanjutan ekonomi (profit) membawa dampak kehidupan masyarakat perkotaan identik dengan kultur individualisme yang kuat. Ketatnya persaingan hidup melunturkan modal sosial (people). Sehingga kepedulian pada keseimbangan lingkungan (planet) bisa dipastikan lambat laun akan hilang.

Hidup di perkotaan meminjam ungkapan Jawa, koyo gabah diinteri, seperti gabah yang dipilih dan dipilah di atas tempeh. Bergerak kesana kemari, saling bertubrukan, saling bergesekan, saling menindih, tidak tahu mana utara mana selatan, kawan jadi teman, teman jadi lawan. Dari kehidupan seperti gabah diinteri itu, tidak adakah yang tersisa, khususnya di Jakarta?

Entah ini semacam anomali perilaku manusia atau anak turun bangsa Nusantara yang memiliki ketangguhan hidup, kelenturan jiwa, ketatagan hati, keunggulan genetis dibanding warga bangsa lain di dunia. Kota yang derap langkah pembangunannya belum sepenuhnya berpihak pada people dan planet, faktanya dihuni oleh warga yang merasa bahagia tinggal di ibu kota.

Hal itu terungkap dari hasil Jajak Pendapat Litbang KOMPAS terhadap 600 responden di lima wilayah Jakarta pada Juni lalu. Dari skala nilai satu untuk mewakili kondisi sangat buruk dan skor empat mewakili situasi sangat baik, responden memberikan nilai di atas tiga dalam aspek perasaan bahagia dan perasaan dihargai oleh masyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka.

Saya tidak tahu responden “sebelah mana” yang menjadi sasaran Jajak Pendapat tersebut, namun toleransi yang tinggi diantara warga Jakarta setidaknya mengikis anggapan kultur individualisme yang kerap menjadi stigma kehidupan di kota-kota besar. Tidak mengherankan toleransi itu melekat dalam hidup keseharian mengingat Jakarta selalu meramaikan mimpi indah penghuni.

Siapakah mereka? Adalah para perantau yang memiliki rasa senasib seperjuangan menyambung hidup di Jakarta. Mengutip Data Dinas Kependudukan DKI Jakarta tahun 2013-2015 menunjukkan, sebanyak rata-rata 150.000 penduduk baru datang ke Jakarta setiap tahun. Jika dirata-rata, paling tidak 400 penduduk baru per hari datang ke Jakarta.

Melihat jumlah rata-rata penduduk baru yang datang ke Jakarta cukup tinggi, dampak pemekaran kota yang tidak terstruktur (urban sprawl), sehingga kota menjadi tidak efisien dan efektif dalam melayani kehidupan di dalamnya, rasanya bukan hal yang mustahil atau bahkan tengah terjadi saat ini.

Karena itu, rasa kepercayaan antar kelompok masyarakat di Jakarta merupakan modal sosial yang tidak boleh diabaikan. Kendati demikian, hal itu bukan jaminan ketika terjadi ketidaksetaraan antarkelompok masyarakat yang melibatkan elite politik. Indeks yang dibentuk dari pendapat responden menunjukkan skor yang termasuk buruk pada aspek kepercayaan masyarakat terhadap DPRD DKI Jakarta (2,28). Responden meragukan kemampuan Dewan dalam menampung aspirasi dan membela kepentingan masyarakat. Nilai indeks tersebut tercatat paling rendah dibandingkan dengan aspek rasa percaya terhadap lembaga eksekutif (2,78), aparat kelurahan (2,81), atau tokoh masyarakat di sekitar tempat tinggal masyarakat (2,89) (Litbang KOMPAS).

Hal itu belum termasuk rasa percaya terhadap keamanan yang tergolong rendah, 2,63 dan lemahnya jaringan dan partisipasi sosial. Indeks partisipasi masyarakat Jakarta dalam kegiatan di lingkungan sekitar hanya bernilai 1,98. Merujuk pada hasil jajak pendapat tersebut, sub indeks people dan planet kota Jakarta tergolong rendah.

Jakarta tetap Jakarta. Ia kota yang menyambut pendatang dan wisatawan dengan tangan terbuka. Diantara 15 kota di dunia yang tidak ramah pada wisatawan, Jakarta tidak masuk di dalamnya. Satu kata yang mungkin tepat melukis Jakarta: kontras.

Tinggi gedung tinggi / Mewah angkuh bikin iri / Gubuk gubuk liar / Yang resah di pinggir kali / Terlihat jelas kepincangan kota ini / Tangis bocah lapar bangunkan ku dari mimpi malam. – Kontrasmu Bisu, Iwan Fals.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun