Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Providentia Dei dan Benih Tanaman Masa Depan

28 September 2016   00:51 Diperbarui: 28 September 2016   07:25 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam 07.30 WIB. Sebuah pesan di Whatsapp masuk. Dewan Pendidikan Jawa Timur, Bapak Yusron Aminullah, saya biasa memanggilnya Pak Yus, atau anak-anak Maiyah kerap menyapa Cak Yus, mengirim pesan. Intinya, beberapa tulisan saya di Kompasiana terutama tentang isu, fakta, opini pendidikan, dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) segera diemail untuk menjadi bagian dari bahan rekomendasi bagi Penyusunan Peraturan Gubernur (Jawa Timur) tentang Teaching Factory (Pembelajaran dengan Dunia Usaha dan Industri) dan Pendidikan Sistem Ganda.

Segera saya menelusuri beberapa judul lalu memilih dan memilahnya sesuai kebutuhan. Saya merasa sangat terbantu oleh “model arsip” tulisan di Kompasiana. Mengapa saya tidak mencarinya di folder laptop? Beberapa bahkan cukup banyak tulisan yang saya tayangkan di Kompasiana mengalami perubahan judul.

Judul yang saya pasang sebagai “judul” di awal tulisan tidak selalu saya jadikan judul tulisan. Kalimat awal sebagai judul itu berfungsi sebagai tema dasar. Adapun judul yang terpasang saat tayang di Kompasiana sudah mengalami beberapa perubahan. Tidak sedikit tulisan tersebut mengalami perubahan judul sebelum saya menekan “klik” tombol “tayang”.

2.

Pesan dari Pak Yus tadi pagi mengantarkan saya pada sebuah kenyataan bahwa menulis itu membuka lebar-lebar jalan kebaikan, kemanfaatan, kebaikan bukan untuk diri sendiri saja, melainkan untuk masyarakat, generasi yang akan datang, bahkan untuk bayi-bayi yang menjadi janin pun belum.

Bukan kali ini saja saya menemukan kebetulan-kebetulan. Kebetulan yang pasti dijumpai oleh mereka yang rajin dan istiqomah menulis, akan terlalu banyak dideret disini. Namun, kebetulan itu sendiri bukan kebetulan yang bergerak tanpa sebab-akibat. Dialektika pasti terjadi sesaat setelah tulisan itu lahir dari rahim penulis. 

Makhluk tulisan yang mengusung ide, gagasan, visi, atau apapun saja akan terlibat interaksi dengan makhluk di luar dirinya. Kita sepenuhnya tidak sanggup mengendalikan interaksi itu. Sebagaimana kita tidak bisa turut campur mengendalikan pertumbuhan sebuah benih, kecuali sebatas menyiram, memupuk, dan memastikan lingkungan di sekitarnya cukup kondusif.

Ya, penulis tak ubahnya seperti seorang petani yang menanam benih pepohonan. Tugas kita adalah menanam seraya menjaga tanaman itu di perkebunan stamina proses kreatif kita masing-masing. Adapun akan berbuah apa pepohonan itu, Tuhan akan mengurusnya. Menulis—membuka jalan, menjadi jalan selebar-lebarnya bagi tumbuhnya pohon-pohon kehidupan untuk menaungi kehidupan generasi yang akan datang.

3.

Dengan kaca mata dan sikap penghayatan seperti itu saya mengirim salam hormat kepada Bapak Jakob Oetama, yang pada 27 September 2016 tepat berusia 85 tahun. Usia saya cukup pantas berposisi sebagai cucu. Salam hormat dari seorang cucu didasari oleh pertama, rindang pepohonan nilai yang sudah ditanam itu, dirasakan keteduhannya bukan oleh jurnalisme Indonesia saja. 

Jakob adalah manusia yang tengah dan terus menerus memanusia. Minat dan kepekaannya pada masalah-masalah manusia dan kemanusiaan menunjukkan kepada siapa jurnalisme berpihak. Warisan rindang pepohonan dan buah-buahannya adalah kesadaran makna seorang manusia memanusiakan manusia. Warisan humanisme yang adil dan beradab.

Kedua, puncak kesadaran manusia adalah tatkala ia menyadari benih-benih sejarah yang ia tanam tidak akan tumbuh dan berbuah tanpa campur tangan Tuhan. Dia mengimani, Tuhanlah yang menuntun langkah hidupnya melalui berbagai peristiwa kebetulan dalam hidup (Refleksi 85 Tahun Jakob Oetama). Makna providentia Dei yang kerap ia sampaikan itu mengurat nadi dalam penghayatan yang dalam bahwa manusia akan dipertemukan, diperjalankan, dilakonkan dalam rumusan “kebetulan”. Selebihnya, yang tak terjangkau, itulah penyelenggaraan Allah.

4.

Rindang pepohonan dan buah-buahan itu sedang kita rasakan—kini. Seperti sebuah siklus yang berkelanjutan, seperti buah mangga dan sayur-mayur yang menyehatkan, nilai dan makna kesehatan itu kita olah kembali dalam kerja internal—diantaranya dengan menuangkan gagasan melalui tulisan tentang masa depan dunia yang lebih manusiawi.

Dunia yang pasti majemuk karena kemajemukan adalah keniscayaan, sunnatullah. Dunia di mana agama, ras, suku, bahasa, bangsa tampil sebagai kenyataan mozaik kemanusiaan yang indah. Dunia di mana orang Jawa tetap dengan Jawa-nya, Sunda tetap dengan Sunda-nya, Bugis tetap dengan Bugis-nya. Dunia dimana Indonesia menjadi Indonesia. Terserah dengan bergulat dan menempuh jalan mana, yang penting perjuangan itu bermuara kepada telaga bernama Indonesia.

Karena itu, Jakob dan Ojong bersepakat koran yang mereka dirikan bukan corong partai. Koran itu harus berdiri di atas semua golongan, oleh karena itu harus bersifat umum, didasarkan pada kenyataan kemajemukan Indonesia, harus menjadi cermin realitas Indonesia, mengatasi suku, agama, ras, dan latar belakang lainnya (Refleksi 85 Tahun Jakob Oetama).

“Kami ingin membangun Indonesia Kecil. Rohnya Indonesia Kecil. Semangat yang mendasari humanisme transedental,” ungkap Jakob Oetama.

5.

Pak Jakob telah menemukan "titik ordinat" kawula dan Gusti. Ungkapan: “Hidup ini seolah-olah bagai sebuah kebetulan-kebetulan, tapi bagi saya itulah providentia Dei, itulah penyelenggaraan Allah,” merefleksikan dua kesadaran yang padu. Sebagai kawula, hamba, manusia yang serba terbatas, kebesaran nama dan cerita sukses perjalanan hidup memang tak lebih dari sebuah “kebetulan”. 

Tapi kebetulan itu tidak datang tiba-tiba, ujug-ujug. Di tengah proses perjalanan hidup, dengan segala jatuh bangunnya, sukses dimaknai tidak semata-mata berkat usaha pribadi. Ada campur tangan Tuhan di sana, ada penyelenggaraan Tuhan di sana. Bukankah ini sebuah kesadaran yang padu dan utuh?

Berhadapan dengan sesama manusia, kawula, insan, Pak Jakob menebar benih-benih humanisme yang mencerminkan sikap transendental sebagai pembawa “pesan” dari Tuhan dengan sifat-Nya Yang Pengasih dan Penyayang. Berhadapan dengan Sang Gusti, Pak Jakob menyelam dalam penghayatan transedental untuk membawa "humanisme bumi" dan melapor kepada Tuhan tentang misi hidupnya yang berbelarasa terhadap mereka yang lemah, tersingkir, dan menjadi korban.   

Dalam gambaran sebuah pohon, akar-akar humanisme itu menghujam ke dalam perut bumi. Batang, ranting, dan daun-daun transedentalnya menjulang ke langit angkasa. Gambaran tentang manusia yang berpusat pada Ilahi.

Selamat mengabadi, Pak Jakob, hingga generasi mendatang yang jauhnya tak terjangkau dan akan tetap menemukan Bapak sebagai mataair. []

Jagalan 280916

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun