Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Guru Milenial dan Pimpinan Sekolah yang "Enggan" Berubah

26 September 2016   13:04 Diperbarui: 26 September 2016   16:53 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

The Deloitte Millennial Survey 2016, mengungkap generasi milenial atau kerap dipanggil Generasi Y punya rencana segera angkat kaki dari perusahaan atau organisasi dari saat ini untuk beberapa tahun ke depan. Survei yang diselenggarakan di 29 negara, termasuk 300 orang dari Indonesia, melibatkan 7.692 kaum milenial.

Mereka adalah generasi yang lahir setelah 1982 dengan pendidikan setingkat perguruan tinggi di negara maju dan berkembang. Survei ini mencoba memetakan nilai-nilai dan ambisi, kepuasan terhadap pekerjaan, dan keinginan bisa hadir dalam tim manajemen mereka di level yang lebih tinggi. Hasil survei tersebut memberikan gambaran bahwa potensi ancaman gelombang resign dari pekerja generasi milenial menjadi masalah serius bila tidak ditangani secara baik.

Bagaimana bila “perusahaan” itu adalah lembaga pendidikan atau sekolah? Adakah potensi ancaman yang sama mengintai institusi dimana integritas dan totalitas melayani peserta didik adalah pilar utamanya? Bagaimana pimpinan yayasan atau kepala sekolah menyikapi karakter "tak setia generasi milenial"? Apakah mereka akan menggunakan cara-cara lama, cara konvensional, menerapkan pola hubungan kerja yang sangat birokratis, memelihara karakter komunikasi atas-bawah, yang berada di posisi atas (pimpinan) pasti benar dan yang di bawah (anak buah) pasti salah?

Ataukah sikap tak setia generasi milenial itu cukup diberangus dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang bervisi sepihak, visi yang memihak kepentingan yayasan atau sekolah, seraya menutup rapat-rapat mata objektivitas bahwa sekolah pada dasarnya bukanlah pabrik intelektual untuk mendatangkan pundi-pundi laba finansial? Ketika generasi milenial mencermati, mengkritisi, mempertanyakan, menggugat, memprotes, menentang komersialisme pendidikan yang dijalankan di balik topeng kemuliaan pengabdian ilmu—bagaimana pimpinan lembaga atau kepala sekolah bersikap?

Kita bisa menderet hitungkan pertanyaan tersebut hingga batas yang tak terbatas. Di Indonesia apalagi, pendidikan menjadi ruang laboratorium bagi penguasa mengotak-atik rumus-rumus kepentingan: kurikulum, model pembelajaran, regulasi pendidik dan tenaga pendidikan, yang tidak selalu bersentuhan dengan akar filosofi pendidikan itu sendiri. Fakta bahwa sekolah sedang dan akan terus dibanjiri oleh para guru dari generasi milenial bukanlah isu secantik proyek perubahan kurikulum dan program dadakan seperti full day school.

Sekilas Fakta Generasi Milenial 

Mengutip hasil studi Gallup terhadap 1.733 pengawas sekolah di Amerika Serikat, hanya 6 persen dari para pimpinan pendidikan sangat setuju bahwa sekolah perlu mengerti kebutuhan guru milenial di tempat kerja. Kenyataan tersebut tidak lepas dari sekitar 73 juta milenium di AS berusia 19 hingga 36 tahun, mewakili mereka yang lahir antara tahun 1980 dan 1996. Secara keseluruhan, milenium memenuhi sekitar 38 persen dari tenaga kerja AS, dan mereka pasti mengisi posisi sebagai guru.

Bagaimana dengan Indonesia? Seperti dilansir KOMPAS.com, generasi yang juga kerap dijuluki digital natives, menurut lembaga riset pasar e-Marketer, populasi netter Tanah Air mencapai 83,7 juta orang pada 2014, dan menempatkan Indonesia peringkat ke-6 di dunia dalam hal jumlah pengguna internet. Pada 2017, e-Marketer memperkirakan, jumlah netter Indonesia bakal mencapai 112 juta orang, mengalahkan Jepang pada peringkat ke-5, yang pertumbuhan jumlah pengguna internetnya lebih lamban.

Hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bersama dengan Puskakom Universitas Indonesia (UI), pengguna internet di Indonesia pada tahun 2014 menembus angka 88,1 juta. Dimana dari total jumlah tersebut, 49% di antaranya dikuasai oleh generasi millenial, demikian ditulis detik.com dalam Generas Millenial Kuasai Internet Indonesia.

"Dari apa yang kami teliti, kami menemukan jika pengguna internet terbanyak berada di rentan usia 18 hingga 25 tahun. Menyusul usia 26-35 tahun dengan jumlah persentase 33,8%, 36-45 tahun di 14,6%, dan paling rendah di umur 56-65 tahun dengan jumlah 0,2%," papar Ketua Umum APJII, Semuel A. Pangerapan di kantor APJII, Gedung Cyber, Jakarta.

Terdapat 48,4 persen rentang usia 26-45 tenaga produktif yang kemungkinan membanjiri posisi guru cukup besar. Siapkah para pimpinan sekolah menampung dan melejitkan potensi mereka? Saya khawatir pimpinan sekolah yang dijangkiti myopi, mata leadership yang berjarak pandang sangat pendek, akan membuat guru generasi millenial tidak kerasan, gerah, dan ogah meniti jalur di bidang pendidikan. Mereka yang gerah dan memutuskan keluar dari sekolah, atau dikeluarkan oleh pimpinan sekolah, akibat kebutuhan dasar sebagai generasi millenial tidak terpenuhi, asumsi saya justru merekalah generasi potensial, guru dengan visi-gagasan dan kreativitas mendidik yang luar biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun