Oh ya andaikata dunia tak punya tentara
Tentu tak ada perang yang banyak makan biaya
Oh ya andai kata dana perang buat diriku
Tentu kau mau singgah bukan cuma tersenyum
(Lirik Pesawat Tempur, Iwan Fals)
Adalah Kofi Anna, mantan Sekretaris Jenderal PBB era 1997-2006 yang meremiskan 21 September sebagai Hari Perdamaian Internasional (International Day of Peace). Menurut catatan Wikipedia, peringatan ini didedikasikan demi perdamaian dunia, dan secara khusus demi berakhirnya perang dan kekerasan, misalnya yang mungkin disebabkan oleh suatu gencatan senjata sementara di zona pertempuran untuk akses bantuan kemanusiaan.
Dunia tanpa konflik, dunia tanpa perang, mungkinkah? Dalam laporan Global Peace Index 2016 kita menemukan biaya perang sepanjang tahun lalu mencapai lebih dari US $ 13,6 triliun atau sekitar 13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) global. Perkiraan biaya perang tersebut dihitung dari pengeluaran militer, kerusakan akibat konflik, kerugian dari kejahatan, dan kekerasan interpersonal. Oh ya andaikata dana perang itu buat diriku…
Mencermati biaya perang yang mencapai 13 persen dari PDB global tersebut, kerugian total akibat konflik berkepanjangan, hancurnya peradaban manusia di wilayah konflik, runtuhnya martabat kemanusiaan, kita jadi terusik untuk bertanya dan mempertanyakan apa wujud sebuah perdamaian, bagaimana imajinasi kita tentang perdamaian, apa standar hidup manusia sehingga layak disebut damai?
Satu hal yang pasti, dan semoga kita sepakat: damai bukan sebatas tidak ada peperangan. Memang, pada wilayah yang terlibat konflik, perdamaian adalah menghentikan perang. Selesai. Menjadi sulit dan mustahil mengentikan perang karena porsi belanja untuk keamanan lebih besar dibandingkan dengan upaya global untuk membangun dan memelihara perdamaian. Bagi pihak tertentu perang adalah sebuah “keuntungan” besar.
Apabila perdamaian diartikan tidak adanya konflik peperangan, menurut Johan Galtung, hal itu merupakan bentuk negative peace. Tidak ada perang, tidak ada kontak senjata, tidak ada kerugian yang terjadi pada lazimnya peperangan, tidak ada kekerasan fisik. Apabila perdamaian dalam bentuk negative peace yang dikehendaki, alangkah “purba” peradaban manusia.
Sedangkan perdamaian bukan keadaan damai secara “fisik” belaka, perdamaian yang disebut Galtung sebagai positive peace. Bagaimana itu? Relasi sosial benar-benar bebas dari krisis dan tekanan, yang keduanya merupakan “benih” yang bisa tumbuh lantas berbuah kekerasan dan peperangan. Bebas dari krisis dan tekanan saat setiap individu yang terlibat dalam relasi sosial dapat memaksimalkan dan mengekspresikan potensi dirinya.
Sedangkan kita tahu krisis sosial merupakan benih yang selalu tertanam di setiap tanah dimana manusia terlibat relasi dan komunikasi. Meniadakan sama sekali krisis sosial sama halnya mengakhiri kehidupan. Krisis itu akan ada, selalu ada, dan akan selalu ada, hadir di tengah-tengah hidup manusia. Maka, Galtung menyarankan, pemecahan masalah pada tingkat tertinggi adalah masing-masing pihak-konflik melakukan pertukaran empati dan menciptakan kesepakatan yang merupakan jawaban dari muatan kepentingan dari relasi krisis sosial. Kita menyebutnya musyawarah secara kekeluargaan.
Semakin gamblang, puncak peradaban adalah hidup damai, damai secara positive peace: benih konflik yang muncul diselesaikan secara musyawarah kekeluargaan.
Itu semua pengertian secara konseptual. Bagaimana praktek faktualnya? Dalam catatan Indeks Perdamaian Global (Global Peace Index 2016) Indonesia menempati urutan ke-42 dari total 163 negara yang dinilai. Indonesia mendapat nilai sebesar 1.799 dan berada dalam posisi “hijau”. Artinya, Indonesia adalah negara “lumayan” damai, bahkan ketika dibandingkan dengan Perancis pada posisi 46 dan Britania Raya posisi 47. KOMPAS.com mencatat, untuk “kelas” Asia Tenggara, Indonesia kalah dengan Singapura yang menempati posisi ke-20 dan Malaysia peringkat ke-30.
Dalam posisi “hijau” itu, apakah perdamaian di Indonesia benar-benar dalam lampu "hijau"? Terdapat pilihan “angle” tak terhingga untuk memotret “obyek” perdamaian di Indonesia. Dalam hal ini kita memakai angle secara umum saja. Untuk itu kita memerlukan mafhum mukholafah atau pengertian terbalik, yaitu kekerasan.
Masih menurut Galtung, kekerasan terbagi menjadi tiga, yakni kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural (Galtung, 2003 & Jamil Salmi, 1993). Kekerasan langsung merupakan setiap tindakan yang mengganggu fisik dan jiwa, seperti perang, pemukulan, pencideraan fisik, genocida, holocaust, pemerkosaan, penyiksaan, pengusiran paksa (ada korban dan pelaku langsung). Kekerasan struktural merupakan kekerasan tidak langsung. Tindakan yang membahayakan tetapi tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pelaku, yang disebabkan oleh ketimpangan sosial dalam sebuah struktur. Kekerasan kultural merupakan kekerasan simbolis (agama, ideologi, bahasa, media, seni, ilmu pengetahuan, pendidikan, hukum / pranata sosial) yang melegitimasi kekerasan langsung dan kekerasan struktural.
Dari ketiga macam kekerasan tersebut, apakah Indonesia sudah lumayan damai, belum damai, atau sama sekali tidak damai?
Mengutip bps.go.id, pada bulan Maret 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,59 juta orang (11,22 persen), bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014 yang sebesar 27,73 juta orang (10,96 persen). Indonesia juga memiliki angka koefisien Gini sebesar 0,41, yang berarti, negara ini memiliki tingkat ketimpangan kesejahteraan cukup tinggi. Selain angka koefisien Gini Indonesia tercatat naik, Bank Dunia pun melaporkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati oleh 20 persen golongan masyarakat terkaya.
Yang memprihatinkan, konsumsi per orang kelompok 10 persen orang kaya Indonesia meningkat 6 persen per tahun selama kurun 2003-2010. Sedangkan konsumsi kelompok 40 persen orang miskin cuma tumbuh kurang 2 persen per tahun. Alhasil, jumlah orang miskin sejak tahun 2002 hingga tahun lalu cuma berkurang 2 persen. Kelompok miskin ini yang belanja bulanannya di bawah Rp 300 ribu per orang, ungkap katadata.co.id.
Tiba-tiba saya teringat nasehat Mbah Markesot tentang Kepemimpinan Sarung Nglemprek. “Tata kebangsaan dan kenegaraan dijahit tidak menjadi baju dengan kejelasan lengan tangan, kerah leher dan bilahan kancingnya. Melainkan seperti sarung nglemprek, tidak ada disainnya dan bisa diubah-ubah konstruksi dan tonjolan-tonjolannyakapan saja,” ungkap Mbah Markesot (Daur 232).
Mengapa ingatan saya langsung tertuju pada nasehat itu? Karena kekerasan struktural lahir atau (sengaja) dilahirkan oleh ketiadaan ilmu yang jelas tentang tata Negara, Pemerintah, Undang-Undang, dan sejumlah aturan main. Tidak jelas peran dan fungsi antara Negara dan Pemerintah. Tidak jelas pula peran dan fungsi antara Kepala Keluarga dan Kepala Rumah Tangga. Akibat ketidakjelasan itu, sejumlah kekerasan, baik macam maupun levelnya, cenderung meningkat. Artinya, kehidupan rakyat Indonesia yang berada dalam tata kelola kenegaraan dan kepemerintahan belum sepenuhnya pada posisi “lampu hijau”. Bukankah “peradaban korupsi” sudah cukup melemparkan Indonesia pada ruangan yang lampunya merah?
Dalam situasi seperti itu menciptakan perdamaian tidak lagi dan jangan bergantung—apalagi berharap—kepada pemerintah. Rakyat Indonesia adalah manusia paling tangguh. Hari ini dapat rezeki Rp. 150.000 mereka bilang, “Alhamdulillaah cukup untuk belanja.” Dapat Rp. 100.000, “Yaa, masih cukuplah!” Dapat Rp. 50.000, “Yaa, dicukup-cukupkan!” Dapat Rp. 25.000, “Harus cukup!” Dapat Rp. 5.000, “Aslinya ya ndak cukup. Tapi, Gusti Pengeran sugih…!”
Makhluk bernama manusia di dunia ini, adakah yang ketangguhan mentalnya melebihi manusia Indonesia? Ketika warung sedang sepi, mereka masih bisa bergembira—sambil bernyanyi: “Penguasa..penguasa…berilah hambamu uang. Beri hamba uang…”
Alangkah damai. []
Jagalan 220916
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H