Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Udara Penuh dengan Serbuk Tembaga

20 September 2016   22:53 Diperbarui: 21 September 2016   08:03 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: http://www.bbc.com/

Setiap selasa pagi, setelah jalan di seputar kota yang menuju kawasan pendidikan di Jombang menyelesaikan rush hour, saya berangkat dengan mengendarai motor menuju desa Mentoro. Desa kelahiran Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) itu berada di wilayah timur kota Jombang. 

Lokasi desa Mentoro, yang selalu ditempati pengajian rutin Padhangmbulan, berada di arah utara dari jalur utama Jombang-Surabaya. Sepanjang perjalanan saya menelusuri jalanan desa, menikmati aroma tanah basah dan sisa-sisa semalam asap pembakaran jerami dan kotoran sapi yang sudah kering.

Aroma dan nuansa kehidupan desa mengingatkan kenangan saya kembali ke masa kecil saat berangkat ke sekolah, melewati galengan sawah, dengan hamparan padi yang menghijau. Tapi, dari semua unsur nuansa itu, bau sisa-sisa asap pembakaran jerami dan kotoran sapi yang sudah kering rasanya mendominasi kenangan itu.

Ternyata sejak kecil saya sudah berurusan dengan asap. Namun saya baru sadar bahwa asap bisa menjadi “mesin” pembunuh. Siapa saja: tua muda, anak-anak, orang dewasa, yang sehat, apalagi yang sedang sakit. Bukan terutama asap knalpot kendaraan bermotor yang hendak saya kemukakan, melainkan bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan.

Mengutip hasil peneliti dari Universitas Harvard dan Columbia, Amerika Serikat, diperkirakan terjadi lebih dari 100.000 kematian dini di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang paling dekat dengan kebakaran hutan, ditambah dengan beberapa ribu lebih kematian dini yang terjadi di negara tetangga Singapura dan Malaysia.

Angka tersebut baru perkiraan. Kendati demikian, bencana asap telah merenggut hak hidup warga yang terpapar asap hingga melebihi ambang batas Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Hingga akhir Agustus 2016 warga yang sakit akibat polusi asap di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, terus meningkat. Di kota Dumai kualitas udara sudah dalam taraf berbahaya karena Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) mencapai angka 369.

Pada 2015 lalu, saat bencana asap dalam kondisi terparah, ISPU di ibu kota Riau, Pekanbaru, bahkan menyentuh angka 984. Angka tertinggi dalam level bahaya. Tidak mengherankan estimasi hasil penelitian dari Universitas Harvard dan Columbia, yang diterbitkan pada Jurnal Enviromental Research di atas, melebihi angka yang kita perkirakan.

Walaupun angka kematian tersebut hasil dari perhitungan analisis kompleks partikel halus yang mengancam kesehatan manusia, yang dikenal dengan istilah PM2.5, tetap perlu divalidasi dengan data resmi pemerintah Indonesia. Sebagaimana diberitakan bbc.com, pernyataan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sedikitnya 43 juta orang Indonesia terpapar asap kebakaran hutan dan lahan. 

Data tersebut hanya dihitung di Sumatera dan Kalimantan dan dianalisis dari peta sebaran asap dengan peta jumlah penduduk. Sedangkan 503.874 jiwa menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)‎ di 6 provinsi sejak 1 Juli-23 Oktober 2015.

Kabut Asap dan Kematian Dini

Bukan kematian benar menusuk kalbu, tulis Chairil Anwar. Kematian menjadi kepastian mutlak bagi makhluk hidup, juga manusia. Namun, haruskah ajal datang lebih lebih cepat dari rata-rata “umum” usia kematian? Rata-rata usia harapan hidup wanita Indonesia, menurut laporan The Lancet pada 2013, adalah 72,7 tahun, sedangkan pria 68,4 tahun. 

Kematian dini atau yang dikenal dengan premature death adalah seseorang meninggal sebelum mencapai rata-rata “umum” usia kematian. Hal ini disebabkan pengaruh faktor eksternal yang memperburuk kualitas kesehatan seseorang. Polusi udara akibat kabut asap kebakaran hutan dan lahan menyumbang tingginya polutan.

Sekitar 75 persen kematian itu terjadi di wilayah Asia. Korban polusi udara tertinggi yaitu di Tiongkok dengan sekitar 1,4 juta kematian per tahunnya. Kemudian di India sekitar 645.000 jiwa, Pakistan dengan 110.000 jiwa, dan sekitar 55.000 orang setiap tahun di Amerika Serikat, demikian catatan dalam Jutaan Orang Bisa Mengalami Kematian Dini Akibat Polusi Udara, KOMPAS.com.

Kematian memang selalu berurusan dengan takdir. Namun, hidup di tengah lingkungan yang sehat, dengan kualitas udara yang baik tidak berarti akan menolak kematian. Robert Oben, komedian asal Amerika Serikat pernah berkelakar, “Ada sangat banyak polusi di udara. Jika tidak di paru-paru kita, maka tak ada tempat lain yang bisa menampung semuanya.” Ya, di mana lagi polutan-polutan itu akan mengendap selain di paru-paru.

Kelakar Robert Oben sejalan dengan fakta bahwa Amerika Serikat adalah penyandang predikat sebagai sumber gas rumah kaca terbesari kedua setelah Cina. Bagaimana dengan Indonesia?

Sejak kabut asap kebakaran hutan dan lahan mencapai puncaknya, Indonesia mengeluarkan emisi karbon lebih banyak daripada AS. Hal itu diketahui dari laporan kajian organisasi lingkungan hidup, World Resources Insitute. Emisi karbon akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah melampaui rata-rata emisi karbon harian AS selama 26 hari dari 44 hari sejak awal September tahun lalu, demikian ungkap bbc.com.

Kemajuan yang berhasil ditancapkan peradaban modern ini rasanya hanya ilusi apabila untuk sekadar bernapas saja udara sesak penuh dengan serbuk tembaga. Kemajuan yang harus dibayar dengan harga cukup mahal akibat ketidakseimbangan manusia mengelola dan mengolah lingkungan. 

Kemajuan yang bukan saja berdampak buruk bagi keseimbangan hidup, bahkan berakibat pada tragedi kemanusiaan: populasi manusia sedang terancam nasib masa depannya akibat asap. 

Kemajuan yang menghadirkan sejumlah kemunduran, mengingat manusia modern tidak lebih canggih, tidak lebih bijaksana, tidak lebih adil, tidak lebih beradab dibandingkan orang-orang pedalaman yang terkesan tidak beradab namun bersahabat dengan pasir, tanah, angin, udara, bukit, gunung, pantai, laut, semut, lalat, cacing…

Menelusuri jalanan desa yang teduh pada pagi hari menuju desa Mentoro Sumobito Jombang, motor tidak saya pacu kencang. Sembari melakukan kilas balik merangkai kenangan, lirik lagu Esek Esek Udug Udug (Nyanyian Ujung Gang), Swami - Iwan Fals mengalir juga di telinga.

Menangis embun pagi yang tak lagi bersih / Jubahnya yang putih tak berseri ternoda / Daun-daun mulai segan menerima / Apa daya tetes embun terus berjatuhan / Mengalir sungai-sungai plastik jantung kota / Menjadi hiasan yang harusnya tak ada / Udara penuh dengan serbuk tembaga / Topeng-topeng pelindung harus dikenakan / Ini desaku…/ Ini kotaku…/ Ini negriku ya…[]

Jagalan 200916

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun