Tugas dari guru mata pelajaran Biologi agar setiap siswa mengetahui jenis golongan darah, membawa saya bersama tiga kawan mendatangi kantor PMI Jombang. Guru Biologi berpesan agar kami melakukan donor darah sekalian. Itulah pengalaman pertama saya donor darah zaman SMA dahulu. Lalu, entah sudah berapa kali saya melakukan donor darah. Tak sempat saya menghitungnya.
Hari ini saya membaca setiap tahun hanya ada 108 juta pendonor darah secara global dari 7 miliar populasi manusia, demikian catatan dari WHO. Jumlah yang sangat minim. Kita bisa membayangkan, setiap detik, setiap jam, dalam hitungan hari, minggu, bulan, hingga tahun kebutuhan darah untuk mereka yang sedang menyambung hidup, tidak pernah berhenti, tidak bisa berhenti, dan mustahil dihentikan.
Bulan lalu bersama sahabat yang salah satu anggota keluarganya terbaring lemah di rumah sakit, saya menyaksikan langsung kebutuhan darah bagi yang sakit, tidak bisa ditunda. Golongan darah tertentu tidak selalu tersedia dalam jumlah yang memadai. Keluarga merasa ketar-ketir, sambil berusaha mencari “tambahan” stok darah kepada sanak keluarga lainnya. Setiap kali ada orang yang bersedia mendonorkan darahnya, setiap kali itu pula kami merasa menerima anugerah yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Pengalaman tersebut mengingatkan saya pada kebanggaan yang dilontarkan Ed Kelly, Direktur Jasa Pengiriman dan Keamanan World Health Organization (WHO). “Tindakan heroik, itulah yang sudah dilakukan oleh pendonor darah ketika menyumbangkan darahnya,” ujar Kelly. Tindakan heroik bercampur aduk dengan rasa syukur, kebahagiaan, kelegaan, harapan, optimisme keluarga. Drama kehidupan saat seseorang hadir di tengah suasana sedih dan hampir putus asa, lalu merelakan darahnya untuk menyambung hidup seseorang yang tergolek tanpa daya.
Peristiwa dramatik menyentuh hati itu akan selalu berhadapan dengan kenyataan pahit: stok darah PMI kurang. Dilaporkan oleh KOMPAS.com pada bulan Juni 2016 yang lalu, stok darah PMI hanya 1.775 labu dari idealnya 2.000 labu. Kekurangan stok tersebut kerap dialami beberapa daerah yang lain. Pada Juni 2016 stok darah di PMI Palu berjumlah 171 kantong, yang diperkirakan cukup selama enam hari saja.
Penurunan ketersediaan darah tidak selalu disebabkan tingginya permintaan, tetapi jumlah donor yang naik turun. Diperlukan kampanye dan gerakan bersama untuk menumbuhkan kesadaran publik. Instansi pemerintah, lembaga swasta, takmir masjid, perkumpulan jamaah pengajian merupakan “kantong-kantong darah” yang dibutuhkan kepedulian dan partisipasinya mendonorkan darah secara sukarela, teratur, dan terjadwal.
Pemberian penghargaan kepada pendonor atau lembaga yang aktif berpartisipasi dalam kegiatan donor darah merupakan salah satu bentuk kampanye simpatik untuk menarik minat masyarakat. Palang Merah Indonesia (PMI) bersama dengan pemerintah menganugerahkan penghargaan Satyalancana Kebaktian Sosial kepada 935 Donor Darah Sukarela (DDS), yang telah berdonor sebanyak 100 kali, pada Desember 2013 yang lalu. Donor Darah Award 2016 yang diselenggarakan oleh Unit Doroh Darah (UDD) PMI Kabupaten Aceh pada Februari 2016 lalu bisa diagendakan secara rutin di sejumlah daerah lainnya.
Semua upaya itu perlu ditempuh untuk menambah jumlah persediaan kantong darah. Mengutip Antaranews.com, Indonesia masih kekurangan sekitar 1,3 juta kantong darah per tahun dengan tingkat kebutuhan mencapai 4,8 juta kantong dan baru terpenuhi 3,5 juta kantong darah.
Ibu hamil dan melahirkan termasuk salah satu kelompok yang mengalami kerugian dari kekurangan kantong darah tersebut. Angka Kematian Ibu (AKI) saat melahirkan masih tergolong tinggi. Pada 2012 lalu Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia mencatat AKI sebanyak 359 per 100.000. Penyebab kematian tersebut menurut Ditjen Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan, 35 persen adalah akibat perdarahan. Sayangnya, kebutuhan ketersediaan darah tidak seluruhnya berasal dari donor sukarela, melainkan dari donor pengganti keluarga pasien.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami defisit stok darah. Kebutuhan darah di seluruh dunia meningkat satu persen, sementara ketersediaan turun satu persen. Inggris merupakan salah negara yang mengalami penurunan jumlah pendonor darah. Selama sepuluh tahun terakhir pendonor darah turun hingga 40 persen akibat maraknya pembuatan tato di kulit. Pemerintah Inggris membuat aturan, orang yang mentato tubuhnya diizinkan donor darah setelah enam bulan.
Menjadi pendonor darah sukarela memang tidak semudah yang terucap. Kesadaran dan kemauan seseorang untuk berbagi sering kali menjadi faktor penentu. Bukan kesadaran sebatas manusia yang sama-sama memiliki darah, melainkan kesadaran yang tumbuh berkat sikap peduli terhadap nasib dan kehidupan itu sendiri. Semangat berbagi yang ditularkan KOMPASIANIVAL 2016, salah satunyadengan mendonasikan darah bagi mereka yang membutuhkan, menemukan maknanya.Berbagi—ternyata begitu sederhana dan sarat makna, di tengah padang galau rasakemanusiaan yang tak henti mengejar eksistensi.
Sebagaimana “watak” darah yang mengalir dalam tubuh, sikap peduli dan kerelaan pendonor darah mengalirkan harapan, mengalirkan optimisme, mengalirkan rasa kemanusiaan. Memang, hidup dan mati di Tangan Kuasa Tuhan, namun, hati yang “hidup” ada di tangan manusia yang peduli dan mau berbagi. []
Jagalan 170916
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H