Mengutip pernyataan Prof Sri Moertiningsih Adioetomo dalam diskusi panel Kompas, ”Jendela peluang hanya terjadi sekali dalam sejarah suatu penduduk. Karena itu, Indonesia harus dapat memanfaatkannya sebaik-baiknya untuk membantu pertumbuhan ekonomi,”
Itulah sebabnya, “kenyataan demografi”—perjalanan panjang sebuah bangsa ibarat perjalanan usia manusia: ia akan mencapai puncak pada masa “usia produktif”, dan “puncak siklus” itu akan kembali lagi entah kapan. Bahkan ada yang menyatakan “bonus” demografi hanya terjadi sekali dalam sejarah perjalanan sebuah bangsa.
Masih menurut Jokowi, melimpahnya jumlah penduduk usia produktif itu merupakan modal besar untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Jumlah penduduk mencapai 70 persen itu memang cukup menguntungkan dari sisi pembangunan ekonomi. Diharapkan produk domestik bruto (PDB) naik.
Korea Selatan telah merasakan kenaikan itu. Pertumbuhan ekonomi mencapai 13,2 persen dan PDB 7,3 persen per tahun, menurut data United Nation Population Prospect, tahun 1960-2000, yang dialami Korea Selatan merupakan bonus demografi yang berkontribusi positif.
Menyiapkan "Kondisi Primer"
Namun, untuk meraih dan merasakan bonus demografi diperlukan tidak sedikit sejumlah kondisi yang perlu disiapkan dan ditata sejak sekarang. Pendidikan yang layak, lapangan kerja yang tersedia, pelayanan gizi dan kesehatan yang memadai merupakan “kondisi primer” untuk menyambut potensi usia produktif pada 2020.
Jangan Sia-siakan Bonus Demografi, dalam KOMPAS.com, menyatakan sejumlah “kondisi primer” itu dipersyarati oleh empat kondisi, yaitu pertama penduduk usia muda yang mempunyai pekerjaan produktif dan menabung, kedua tabungan rumah tangga dapat diinvestasikan untuk menciptakan lapangan kerja produktif, ketiga ada investasi untuk meningkatkan modal manusia agar dapat memanfaatkan momentum jendela peluang yang akan datang, keempat menciptakan lingkungan yang memungkinkan perempuan masuk pasar kerja.
Lantas siapkah Indonesia menyambut windows of opportunity dan memenuhi sejumlah “prasyarat primer” itu? Sayangnya, soal demografi itu disebut hanya dalam satu paragraf di Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025. Walapun baru sebatas proyeksi, bukankah hal itu mengindikasikan langkah-langkah yang diperlukan untuk menghadapi puncak bonus demografi belum dirancang secara komprehensif?
Pendidikan harus menjadi salah satu prioritas yang tidak boleh diabaikan. Jumlah penduduk yang berpendidikan sarjana Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia. Penduduk berpendidikan sarjana di Malaysia mencapai 75 persen. Indonesia menargetkan 75 persen penduduknya berpendidikan sarjana pada 2051. Direktur Eksekutif The United Nations Population Fund (UNFPA), Babatunde Osotimehin sudah mengingatkan, kualitas penduduk adalah kunci keberhasilan Indonesia memanfaatkan puncak bonus demografi. Pendidikan formal, vokasional, dan kesehatan ibu-anak merupakan prasyarat agar bonus demografi benar-benar sebagai “bonus.”
Kegusaran Presiden Jokowi menatap kenyataan lulusan SMK menjadi penyumbang angka pengangguran yang terus meningkat, bisa dipahami. Bukan hanya Presiden, semua penduduk Indonesia pasti tidak menghendaki bonus demografi menjadi mata pedang yang menyerangbalik. Apa boleh buat, kita sedang berhadapan dengan bonus demografi, si pedang bermata dua. []
Jagalan 150916