Merujuk pada hasil survei terhadap 2.600 orang di Amerika Serikat, 85 persen masyarakat AS cemas soal keuangan mereka. Bahkan satu dari empat masyarakat AS menyatakan khawatir terhadap uang setiap hari. Bahkan jumlahnya mencapai 28 persen. Mengutip KOMPAS.com, berdasarkan survei yang dilakukan American Psychological Association pada 2015 merilis laporan survei bertajuk "Stress in America" menemukan, masyarakat yang paling stres di Amerika Serikat adalah kaum wanita muda berusia 20-an dan 30-an. Lebih terperinci, mereka yang sangat stres adalah wanita muda yang telah menjadi orangtua dan memiliki penghasilan kurang dari 50.000 dollar AS atau setara dengan Rp 632 juta per tahun.
Namun, ini semua bukan soal angka dan data statistik—ini soal bagaimana bersikap dan menyikapi dunia yang bertambah tua, ketika eksistensi seseorang ditentukan bukan terutama oleh kesadaran yang dibangun dari dalam diri (internal), melainkan lebih dipengaruhi dan dikendalikan pencapaian eksternal, yang dalam situasi dan kasus tertentu ternyata serupa takhayul kesuksesan.
Di Indonesia kehidupan kaum urban kerap menampilkan ironi. Tekanan pekerjaan, persaingan bisnis, tuntutan tetap survive di tengah kondisi politik ekonomi global yang tidak menentu, individualisme, rutinitas setiap hari: tidur beberapa jam saja, berangkat pagi pulang larut malam, dikepung macet—semua itu mencampakkan harkat kemanusiaan seseorang ke tempat paling nadir dalam kesadaran hidupnya. Merasa tegar namun di satu pihak merasa tidak berdaya.
Industrialisasi dan urbanisasi telah membuat masyarakat urban kehilangan nilai-nilai tradisional, seperti kekeluargaan, kebersamaan, cinta, religiusitas dan sebagainya, yang sebelumnya dipegang, ungkap Bambang Prio Jatmiko dalam Mario Teguh dan Ironi Masyarakat Urban. Berburu eksistensi ternyata memakan korban: bangunan fundamental yang menopang hubungan antar manusia keropos lalu roboh secara perlahan-lahan. Dari sudut pandang ini, stres adalah tanda robohnya sebagian pondasi harkat kemanusiaan seseorang.
Pelarian? Tentu saja akan selalu dibutuhkan tatkala terjadi “lubang di hati”. Kebanyakan orang Amerika mengatasi stres dengan berselancar di dunia maya, menonton televisi, dan merokok, ungkap survei The American Psyschological Associaton. Di Indonesia industri motivasi tumbuh subur menyambut kegetiran yang dirasakan masyarakat urban. Namun sayangnya, namanya juga industri, tidak pernah lepas dari berburu keuntungan dengan cara menawarkan solusi-solusi instant. Kendati demikian “lubang di hati” belum juga tertutupi karena solusi instant yang ditawarkan industri motivasi bergerak pada jiwa manusia paling permukaan.
Saya sepakat dengan kalimat pembuka cerpen Agus Noor, "Setiap orang punya nasibnya sendiri-sendiri..." Sebleh, Pak Kor dan anjingnya seperti menggambarkan guratan nasib itu sendiri. Berburu "nasib eksistensi" jangan sampai berakhir bunuh diri.
“Benar, anjing itu gantung diri,” kata satpam yang menjaga rumah Pak Kor, ketika kami datang untuk menanyakan kabar kematian anjing itu. Ini sungguh kejadian paling konyol yang pernah kami dengar. Kami sempat melongok, rumah Pak Kor begitu sepi. Beberapa hari lalu Pak Kor memang tertangkap tangan dan ditahan karena kasus korupsi.
Kami teringat pada anjing yang bahagia itu, ketika ada yang nyeletuk. “Mungkin, ini mungkin lho ya, anjing itu mati bunuh diri karena malu, ternyata selama ini ia makan dengan uang hasil korupsi.” Terdengar lebih konyol dan lucu.
Tapi kami tak bisa tertawa.[]
Jagalan 150916
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H