Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rakyat Miskin: Tidak Ada Daging, Jeroan pun Jadi

12 September 2016   15:17 Diperbarui: 13 September 2016   12:08 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: http://nasional.kini.co.id/

Wajah Mak Pah sumringah bahagia. Sekantong daging dalam wadah plastik diterima sembari mengucap syukur berkali-kali. “Maturnuwun…maturnuwun…,” ucap Mak Pah saking gembiranya. Wajah tiga orang ‘Panitia Kurban’ yang mengantar daging kurban itu berbinar-binar lega, serasa mengantongi tiket surga.

Belum lebih sepuluh langkah berjalan meninggalkan rumah Mak Pah dan deretan rumah tetangga yang jadi langganan pemberian daging kurban, Bapak dan Ibu Panitia Kurban mendadak hatinya kecut. Kalimat protes terdengar meluncur dari bibir Mak Pah, “Ini daging apa brongkalan batu! Daging cuma secuil, balungane sak boto-boto…!”

Rupanya protes Mak Pah terdengar oleh beberapa tetangga yang 'bernasib sama'. Terjadilah dialog, sahut-sahutan, saur manuk, memprotes pemberian sedekah daging kurban yang isinya ternyata meleset dari ekspektasi mereka.

“Kalau niat memberi mbok jangan seperti ini. Ngenyek namanya, Mbak!”
“Apa kita ini dikira anjing yang suka makan tulang!”
“Ya, apa kita ini dikira anjing yang suka makan tulang!”

Yang terhormat Bapak Ibu Panitia Kurban tidak berani menoleh. Mereka bergegas mempercepat langkah kakinya.

Orang miskin dilarang makan daging. Sekali dapat jatah daging kurban, isi bungkusan plastik itu ‘didominasi’ tulang dan jeroan. Kemana daging istimewa dan sejumlah ‘onderdil favorit’ hewan kurban itu? Ada dua kemungkinan. Pertama, menjadi jatah dan milik ‘Panitia’ yang dibagi secara diam-diam, kedua menjadi santapan tangan-tangan jahil yang kecepatannya melebihi gerakan mata siapa pun.

Panitia Kurban 'amatiran' seperti itu memanfaatkan momentun penyembelihan hewan kurban sebagai kesempatan untuk memuaskan aji mumpung setahun sekali. Tidak semua memang. Panitia Kurban yang terbuka, amanah, profesional, juga banyak. Namun, aji mumpung setahun sekali itu akan menambah sakit hati dan perasaan tidak dihargai keluarga miskin yang menikmati daging setahun sekali.

Daging sapi menjadi barang mahal di negeri ini. Rata-rata harga daging sapi di Indonesia sudah tembus di atas Rp 100.000/Kg. Mak Pah dan keluarga miskin, yang per Maret 2016 mencapai 28,01 juta orang, mengonsumsi daging sapi adalah angan-angan yang tidak perlu diangan-angan. Apalagi bagi keluarga hampir miskin, uang Rp 120.000 untuk mendapatkan daging sapi satu kilo lebih baik dibelikan beras atau kebutuhan primer lainnya.

Keluarga miskin dan hampir miskin saja megap-megap membeli daging sapi, bagaimana pula dengan keluarga yang berstatus kesejahteraan terendah? Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengemukakan 30 % penduduk Indonesia yang status kesejahteraannya terendah, berjumlah hingga 75,48 juta orang, atau sekitar 30 persen dari total penduduk. Mengonsumsi daging bukan lagi kemewahan—bagi mereka daging sapi adalah hidangan dari langit, datang setahun sekali dari hati tulus orang yang ngajeni mereka tatkala berkurban kambing atau sapi.

Indonesia memang lebih tinggi dari India yang mengkonsumsi daging sapi 0,5 Kg per kapita per tahun. Namun, Indonesia berada di bawah Malaysia yang rata-rata penduduknya mengonsumsi daging sapi 5,7 per kapita per tahun dan Arab Saudi 3,9 Kg per kapita per tahun. Konsumsi daging sapi di Indonesia sebesar 1,9 Kg per kapita per tahun pada 2015, menurut data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), masih tergolong rendah dibandingkan rata-rata konsumsi daging global yang mencapai 6,4 Kg per kapita per tahun.

Harga daging sapi di negeri ini memang gila-gilaan. Triwulan III 2016 rata-rata harga daging sapi per kilogram masih di atas Rp 100.000, yakni antara Rp 113.800-114.200/Kg. Catatan dari Kementerian Perdagangan itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata pekan terakhir bulan Januari 2016, yakni Rp 112.000/Kg.

Harga daging sapi itu mustahil terbeli oleh mereka yang berada di garis kemiskinan. Pada bulan Maret 2016 Badan Pusat Statistik mencatat Rp 354.386 per kapita per bulan adalah garis kemiskinan orang Indonesia. Apabila rata-rata harga daging sapi Rp 100.000/Kg, pendapatan warga miskin itu berarti ditukar hanya dengan 3 Kg daging sapi saja.

Baiklah, tidak mampu membeli daging sapi, masyarakat pun mengalihkan konsumsi kepada daging ayam. Mengutip print.kompas.com, data Survei Sosial Ekonomi Nasional memperlihatkan, rata-rata konsumsi nasional per kapita daging ayam ras dalam seminggu mencapai 0,092 kilogram atau sekitar 13 gram per hari (2015). Angka konsumsi per kapita daging ayam ras ini cenderung meningkat setiap tahun. Satu dari dua orang responden jajak pendapat mengonsumsi menu berbahan daging ayam setiap minggu. Bahkan, ada sebagian responden yang makan menu ayam hampir setiap hari.

Namun, risiko kesehatan mengintai. Kandungan kolesterol ayam Broiler yang cukup tinggi, yaitu mencapai sekitar 200 miligram, dua kali lipat dibandingkan kolesterol ayam kampung, menjadi salah satu kekhawatiran konsumen. Berbagai penyakit, seperti jantung koroner, atherosclerosis, atau stroke membayangi mereka yang berkolesterol tinggi.

Mengonsumsi daging ayam dengan takaran seimbang dan cara memasak yang benar bisa menjadi pilihan. Tapi, ini semua bukan soal makan daging ayam atau daging sapi. Persoalan harga daging sapi yang tinggi akan ditentukan oleh bagaimana pemerintah bekerja menemukan solusi.

Presiden Jokowi boleh bertekad menurunkan harga daging sapi Rp 80.000/Kg. Namun, akar masalah juga perlu dibenahi. Produksi daging lokal turun dan anjloknya populasi sapi lokal merupakan salah satu akar masalah yang perlu segera ditemukan solusinya. Swasembada daging sapi bukan sekadar tekad. Anggaran yang pernah digelontorkan di Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Direktorat Perbibitan Ternak Kementerian Pertanian sebesar Rp 2,4 triliun pada 2012 lalu, muspro alias belum membawa hasil optimal.

Belajar dari kejadian Mak Pah dan para tetangga yang merasa tidak diajeni dalam pembagian daging kurban, menyelesaikan persoalan melambungnya harga daging sapi tidak ditempuh dengan jalan pintas, seperti memberi sebungkus daging kurban, bungkusnya besar dan berat, setelah dibuka ternyata berisi daging sapi secuil, balungan sapi besar-besar, dan jeroan.

Bungkusan itu seakan berbicara, “Tidak ada daging sapi, balungan atau jeroan pun jadi…” []

Jagalan 120916

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun