Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berkurban ‘Kambing’ Demagog, Narsisme, dan Selfie

11 September 2016   12:59 Diperbarui: 11 September 2016   13:27 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://guideramazan.tumblr.com/

Sungguh baik hati kawan saya. Di tengah menjalankan ibadah haji ia menyempatkan diri berfoto selfie lalu mengirimkannya kepada saya. Pada mulanya satu atau dua foto. Hati saya bergetar juga menatap salah satu foto yang dilatarbelakangi lautan manusia di pusaran Ka'bah. Reportase foto itu ternyata berlanjut. Hampir di setiap momen ia melaporkan ritual haji. Disangkanya saya keturunan malaikat pencatat amal, sehingga kawan saya merasa eman setiap aktivitas di tanah suci berlalu tanpa sepengetahuan saya.

Membalas reportase dan silaturahim foto itu saya memotret seorang tukang becak yang sedang mengayuh becak. Saya send ke dia.

Kok foto tukang becak?” kawan saya bertanya.

“Di Makkah tidak ada tukang becak kan? Tukang becak itu juga sedang ‘berhaji’,” jawab saya.

“Berhaji bagaimana?”

“Ia memang tidak sedang berada di Makkah. Tapi ia sedang melaksanakan 'haji’, meninggalkan rumah, anak dan istri untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang suami, mencari nafkah yang halal untuk keluarga, melakukan ‘tawaf’ keliling di jalanan kota, riwa-riwi sa’i mencari penumpang. Sambil hati dan perasaannya merindukan perjumpaan dengan Muhammad SAW…”

Setelah saya mengirim jawaban yang panjang lebar dan bikin puyeng itu kawan saya menghentikan reportase selfie ibadah haji dirinya.

Foto diri alias selfie bukan hal baru. Robert Cornelius adalah orang pertama yang melakukan foto diri pada tahun 1839. Foto yang diambil di Philadelpia, Amerika Serikat, menampilkan foto diri sang pionir daguerreotypedi depan toko keluarganya. Foto itu kini bisa dijumpai di Library of Congress Washington.

Fotografi kawin dengan telepon seluler dan internet (media sosial), lalu beranak selfie. Foto dengan tagar #selfie muncul pertama kali di Flickr tahun 2004 silam. Tidak menjadi viral di dunia maya karena teknologi kamera belum memanjakan penggunanya dengan fasilitas selfie. Adalah iPhone 4 yang menyalakan sumbu ledak foto selfie pada 2010—kamera depan terpasang di ponsel itu.

Tidak memerlukan waktu lama, foto selfie membajiri dunia maya. 800 responden anak muda, 91 persen dari mereka memposting foto selfie ke dunia maya, demikian ungkap Pew Research Centre di Amerika Serikat. Terjadi kenaikan sebesar 76 persen sejak tahun 2006.

Berhenti disitu? Tidak. Pada 2014 dalam satu hari sedikitnya satu juta foto selfie berhasil menggambar wajah pemotretnya dengan beragam gaya dan ekspresi. Data TechInfographic mencatat satu juta foto selfie dalam sehari itu diunggah ke Facebook sebesar 48 %, Whatsapp dan SMS 27 %, Twitter 9 %, Instagram 8 %, Snapchat 5 %, dan Pinterest 2 %. Jumlah persentase itu kini diperkirakan jauh lebih besar lagi.

Bagaimana dengan Instagram? Profesor ilmu komputer di The Graduate Center, The City University of New York, Lev Manovich, pernah meneliti pengguna Instagram. Bulan Februari 2014, ada lebih dari 79 juta foto di Intagram dengan hastag #selfie. Ini belum termasuk 7 juta foto dengan hastag #selfies, 1 juta foto dengan hastag #selfienation, 400 ribu foto dengan hastag #selfiesfordays dan banyak foto selfie lain yang diunggah tanpa hastag #selfie.

Mengutip hasil jajak pendapat dalam print.KOMPAS.com, penelitian Brooke Wendt (2014) menemukan, dalam bulan Juni 2014 saja terdapat 130 juta pengguna Instagram yang memajang foto atau video dengan tagar (#) selfie. Menurut survei dari Pew Internet & American Life Project, lebih dari setengah pengguna internet punya kebiasaan mengunggah potret dirinya ke dalam Facebook, Twitter atau jejaring sosial lainnya.

Demagog dan Narsisme Pejabat - Pekerja Politik

Foto selfie tidak hanya digandrungi anak muda. Para pejabat dan pekerja politik—yang menangkap peluang media sosial untuk berkampanye di depan publik—tidak mau ketinggalan. Selain interaksi di media sosial yang dapat dimanfaatkan untuk ‘pencitraan’, tren buzzer dari para tokoh dunia menyumbang foto selfie tambah nge-trend di kalangan pejabat dan pekerja politik Indonesia.

Apa itu buzzer? Buzzer adalah akun di Twitter yang memiliki jumlah follower besar dan banyak. Selfie Presiden Amerika Serikat Barack Obama, misalnya, ketika berfoto bersama Perdana Menteri Denmark Helle Thorning-Schmidt dan Perdana Menteri Inggris David Cameron menjadi salah satu buzzer. Ketiganya berfoto memakai ponsel di acara mengenang kepergian tokoh besar Afrika, Nelson Mandela, demikian catatan prin.KOMPAS.com, terkait Tren Foto Selfie di Ruang Publik.

Di Indonesia fenomena selfie di kalangan pejabat dan pekerja politik lebih dari sekadar buzzer. Narsisme menjadi perilaku dengan biaya mahal. Ya, narsisme, perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan, menyedot cukup banyak uang negara. Dalih narsisme itu bisa ditebak: mengenalkan, mengkampanyekan, mensosialisasikan, program pembangunan, dengan memajang besar-besar foto sang pejabat atau pekerja politik.

Narsisme pejabat menjadi model komunikasi untuk mengalihkan sikap kritis publik menuju subjektivisme citra positif yang tidak selalu berkorelasi dengan kinerja dan prestasi. Lebih gamblang, narsisme adalah aji-aji malih rupa agar terlihat hebat, peduli, dan sejumlah stigma positif lainnya di mata masyarakat.

Ahok dan Risma adalah segelintir pejabat yang menolak narsisme itu. Ahok cukup tegas melarang pejabat DKI memasang foto dirinya untuk sosialisasi program pemerintah DKI, lebih-lebih menjelang Pilkada DKI 2017. Demikian juga Risma, baliho ulang tahun koran Harian Surya Surabaya yang menampilkan foto dirinya di berbagai titik reklame, bertahan lima hari saja. Billboard itu pun dicopot. Menurut Kepala Bagian Humas, Pemkot Surabaya, Muhamad Fikser mengakui Risma tak nyaman dengan hal itu.

Narsisme pejabat tidak tiba-tiba muncul. Mahfud MD pernah menyampaikan narsisme merupakan ekses dari demagog. Apa itu? “Upaya para orator ulung, terdiri dari pejabat negara membuat citra baik, tetapi hakikatnya membohongi rakyat,” ujar Mahfud. Demagog dan narsisme: merasa diri hebat, layak dipuji, layak dihargai, layak diagungkan, layak dipilih kembali, layak dikenang, dan sejumlah layak-layak kemuliaan lainnya—dalam rangka memuji diri sendiri di tengah kegetiran hidup rakyat yang menemui sejumlah paradoks yang menyakitkan.

Mengapa menyakitkan? Merujuk data yang dilansir Nielsen 2015, iklan yang dipasang pemerintahan dan organisasi politik jadi kontribusi tertinggi untuk nilai belanja iklan. Jumlahnya mencapai Rp7,4 Triliun atau 6,4 persen dari total keseluruhan yang mencapai Rp118 triliun. Artikel atau advertorial mendominasi iklan pemerintah daerah yang mencapai hingga 56 %. Ucapan selamat 15 %, pengumuman 14 %, pemberitahuan even spesial 12 %.

Sebuah angka yang tidak kecil dan angka itu adalah sejumlah rupiah yang cukup besar sekadar untuk membiayai nafsu demagog dan narsisme. Mumpung sedang berada di momentum Hari Raya Kurban, momentum Nabi Ibrahim menyembelih Ismail, para pejabat dan pekerja politik sebaiknya menyembelih ‘kambing demagog’ dan ‘kambing narsisme’. Sambil berselfie bersama para kambing, dipajang pula kalimat: Berqurban itu Mudah.

Selamat Hari Raya Idul Adha 1437 H. []

Jagalan 110916

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun