Di mata anak-anak itu selain terbayang kampung halaman, rumah tinggal, teman bermain, tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang mereka alami benar-benar melekat di alam ingatan jangka panjang. Tempat pengungsian bukanlah tempat yang tiba-tiba menawarkan rasa aman. Harapan itu bisa jadi harapan kosong. Pengungsian di Nizip, Gaziantep, di tenggara Turki, memaksa anak-anak berhadapan dengan konflik dan peperangan yang lebih menikam ulu hati. Ditemukan sekitar 30 anak Suriah yang berusia 8-12 tahun mengalami pelecehan seksual di kamar mandi pengungsi, sejak September 2015 hingga Januari 2016.
Mengutip The Guardian, "Meskipun banyak masyarakat dan orang-orang di seluruh dunia yang mulai menerima pengungsi dan anak-anak migran, namun xenophobia, diskriminasi, dan pengucilan dapat menimbulkan ancaman serius bagi kehidupan dan masa depan mereka,” kata Direktur Eksekutif UNICEF, Anthony Lake.
Saya tidak paham ilmu jiwa anak, namun sanggupkah kita merasakan kegetiran, tekanan, amuk jiwa dan perasaan macam apa yang tengah menikam, akan menikam, dan selalu menikam pada sepanjang hidup mereka?
Tekanan mental, depresi, gangguan jiwa, pelecehan seksual, diskriminasi tidak membayangi anak-anak yang hidup tempat pengungsian saja, karena pada dasarnya konflik dan peperangan dalam arti yang luas dan mendasar juga mengintai kehidupan anak-anak kita. Di tengah kegetiran perasaan saat menyelesaikan tulisan ini, seorang sahabat mengirim pesan. “Konflik dan peperangan tidak selalu bisa kita hindari. Namun, keluarga kecil yang dibangun di atas fondasi martabat dan harga diri kemanusiaan yang saling memanusiakan manusia tidak akan goyah diterjang oleh subjektivisme kepentingan konflik dan peperangan.”
Bisa jadi sahabat saya benar, karena tragedi peradaban dengan segala penyakit jiwa yang menyertainya, diawali dari tragedi diri. []
Jagalan 100916
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H