Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anak-anak yang Hidup di Tengah Konflik dan Peperangan

10 September 2016   12:26 Diperbarui: 10 September 2016   15:01 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://duniaamerahh.blogspot.co.id/

Tidak pernah saya duga sebelumnya, saya pernah menemani seorang kawan menginap di Poliklinik Jiwa RSUD Saiful Anwar Malang. Kawan saya perlu menjalani perawatan setelah tiga kali berturut-turut gagal diterima di jurusan kedokteran melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Gagal kuliah di jurusan kedokteran akhirnya membuat kawan saya oleng. Ia harus menerima kenyataan pahit setelah kesempatan ketiga mengikuti UMPTN berakhir.

Waktu itu saya tidak tahu persis diagnosa kejiwaan. Yang saya tahu, kawan saya berperilaku aneh, nganeh-nganehi, tidak lazimnya perilaku yang dianggap normal. Kami hanya kenal istilah depresi, sehingga perilaku aneh itu kami anggap akibat depresi. Hanya itu, selebihnya kami bergiliran menjaganya setiap hari.

Kenangan sekitar tahun 1995-an itu kembali muncul setelah saya membaca penelitian WHO yang menyebutkan 10% populasi dunia mengalami gangguan mental. Pada 2012 WHO memperkirakan sedikitnya 350 juta orang mengalami depresi ringan maupun berat. Antara tahun 1990 sampai 2013 angka penderita depresi dan gangguan mental lainnya meningkat bahkan lebih dari 50%. Pada tingkatan yang cukup kronis, depresi bisa berakhir dengan bunuh diri.

Depresi bukan sekadar gangguan mental—ia menjadi sangat berbahaya karena angka bunuh diri akibat depresi angkanya cenderung meningkat. Korea Selatan menjadi negara kedua yang mencatat angka bunuh diri terbanyak. 28,9% per 100.000 orang, berusia 10–30 tahun mengalami depresi, bunuh diri, lalu mati. Dibandingkan Korea Selatan, Indonesia tergolong ‘lumayan selamat’. Pada 2012 Mabes Polri mencatat 0,5% 100.000 populasi. Kendati demikian angka itu tergolong cukup besar karena dalam satu tahun sekitar 1.170 kasus bunuh diri terjadi.

Melihat rentang usia produktif pelaku bunuh diri di Korea Selatan, saya curiga kasus terbesar menimpa golongan remaja. CNNindonesia.com melaporkan, secara keseluruhan, persentase remaja AS yang mengalami depresi besar pada tahun 2013-2014 adalah 11%. Angka tersebut naik dari 9,9% pada laporan 2012-2013. Kepada Live Science, Weissman mengatakan depresi adalah hal yang sangat umum terjadi di kalangan remaja.

Mengapa remaja begitu rentan terhadap ‘serangan’ depresi? KOMPAS.com mengutip The Mirror menyatakan, berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 420 anggota di sekolah akademi yang tersebar di seluruh Inggris, 48% siswa mengakui melukai diri sendiri, 43% siswa mengaku mengalami gangguan makan, dan 20% siswa melakukan percobaan bunuh diri, akibat terlalu stres belajar.

"Anak muda sekarang hidupnya seperti treadmill. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer, jadwal yang tak ada habisnya, dan tak memiliki kebebasan. Tak mengejutkan jika banyak yang sakit mental," ujar Konselor di Warwick School, Inggris.

Bagaimana dengan Indonesia? Remaja usia 15 tahun ke atas yang mengalami prevalensi gangguan mental emosional sebesar 6%, demikian data yang disampaikan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013. Artinya lebih dari 14 juta orang menderita gangguan mental di Indonesia.

Kondisi itu diperparah oleh minimnya penanganan klinis gangguan jiwa, yang menurut Eka Viora SpKJ, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, terdapat kesenjangan lebih dari 90%. Penderita gangguan jiwa yang memperoleh terapi kurang dari 10%.

Anak-anak remaja di Korea Selatan, Inggris, dan Amerika yang mengalami gangguan mental emosional itu menjalani hidup tidak di tengah situasi konflik peperangan. Mereka menjalani aktivitas, bersekolah, bergaul dalam situasi negara yang relatif stabil dan aman. Walaupun beban akademik di sekolah tergolong berat, kurang ‘enak’ apa kehidupan mereka? Enak karena anak remaja itu tidak dicekam oleh tekanan situasi konflik dan peperangan bersenjata.

Bagaimana pula anak-anak yang hidup di tengah pusaran konflik dan peperangan? Kadar tekanan mereka bukan lagi berkelas depresi—keselamatan dan nyawa menjadi taruhan. Korban konflik dan peperangan—dalam arti luas dan mendasar—adalah selalu anak-anak. UNICEF merilis data mencengangkan. Pengungsi anak mencapai setengah dari jumlah total pengungsi di dunia. 31 juta anak terusir dari tanah kelahiran, hidup di luar negaranya. Perang selama lima tahun terakhir yang tidak kunjung reda ‘berhasil’ meningkatkan jumlah pengungsi anak dunia mencapai 75%.

Di mata anak-anak itu selain terbayang kampung halaman, rumah tinggal, teman bermain, tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang mereka alami benar-benar melekat di alam ingatan jangka panjang. Tempat pengungsian bukanlah tempat yang tiba-tiba menawarkan rasa aman. Harapan itu bisa jadi harapan kosong. Pengungsian di Nizip, Gaziantep, di tenggara Turki, memaksa anak-anak berhadapan dengan konflik dan peperangan yang lebih menikam ulu hati. Ditemukan sekitar 30 anak Suriah yang berusia 8-12 tahun mengalami pelecehan seksual di kamar mandi pengungsi, sejak September 2015 hingga Januari 2016.

Mengutip The Guardian, "Meskipun banyak masyarakat dan orang-orang di seluruh dunia yang mulai menerima pengungsi dan anak-anak migran, namun xenophobia, diskriminasi, dan pengucilan dapat menimbulkan ancaman serius bagi kehidupan dan masa depan mereka,” kata Direktur Eksekutif UNICEF, Anthony Lake.

Saya tidak paham ilmu jiwa anak, namun sanggupkah kita merasakan kegetiran, tekanan, amuk jiwa dan perasaan macam apa yang tengah menikam, akan menikam, dan selalu menikam pada sepanjang hidup mereka?

Tekanan mental, depresi, gangguan jiwa, pelecehan seksual, diskriminasi tidak membayangi anak-anak yang hidup tempat pengungsian saja, karena pada dasarnya konflik dan peperangan dalam arti yang luas dan mendasar juga mengintai kehidupan anak-anak kita. Di tengah kegetiran perasaan saat menyelesaikan tulisan ini, seorang sahabat mengirim pesan. “Konflik dan peperangan tidak selalu bisa kita hindari. Namun, keluarga kecil yang dibangun di atas fondasi martabat dan harga diri kemanusiaan yang saling memanusiakan manusia tidak akan goyah diterjang oleh subjektivisme kepentingan konflik dan peperangan.”

Bisa jadi sahabat saya benar, karena tragedi peradaban dengan segala penyakit jiwa yang menyertainya, diawali dari tragedi diri. []

Jagalan 100916

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun