Untuk mengungkapkan aktivitas ‘membawa’ (dalam Bahasa Indonesia), Bahasa Jawa memiliki sejumlah kosa kata. Nyunggi, nyangking, nyengkiwing, mikul, ngempit, nengguluk, nggendong, itu semua menunjuk pada aktivitas 'membawa' yang dikerjakan dengan beragam cara dan gaya. Begitu pula dengan ‘memukul’ memiliki sejumlah ungkapan dan ekspresi, yaitu ngantem, nempiling, njotos, njundu, nabok, ngaplok, nggibeng, nonyo.
Dalam kasus dan situasi tertentu ungkapan, ekspresi, nuansa, rasa yang dimiliki bahasa daerah lebih bervariasi, lebih kaya, lebih beragam daripada Bahasa Indonesia yang kadang terkesan linier. Bukan untuk merendahkan bahasa nasional. Bahasa Indonesia patut ‘berendah hati’ dengan para 'seniornya', bahasa daerah, yang memiliki keragaman budaya dan tradisi berbahasa.
Nengguluk, nyengkiwing, nggibeng, nabok adalah beberapa kosa kata bahasa Jawa yang tidak bisa di-bahasa Indonesia-kan begitu saja. Begitu pula beberapa kosa kata bahasa daerah lain yang kadang bahasa Indonesia kehilangan jejak untuk menangkap varian ekspresi dan nuansanya.
Berendah hati yang saya maksud adalah apapun bahasa daerah yang pernah digunakan sekelompok masyarakat atau suku di sudut paling terpencil sesungguhnya mengandung nilai-nilai peradaban. Dengan sikap yang rendah hati itu Bahasa Indonesia merangkul, mewadahi, menjadi rumah besar tempat berlabuh ragam peradaban Bangsa Indonesia. Alangkah kaya nuansa, ekspresi, rasa, kosa kata yang dimiliki Bahasa Indonesia dari kata serapan bahasa daerah. Akar historis sebuah kosa kata bahkan bisa dilacak sejarah, latar belakang tradisi, budaya, filosofi, dan nilai-nilai dasar peradaban yang dibangun di atas tanah ladangnya.
Namun, sayang fakta perih hadir di depan mata. Summer Linguistic melaporkan, Indonesia memiliki tak kurang 746 bahasa daerah. 25 bahasa daerah berstatus hampir punah, dan 13 bahasa daerah dinyatakan telah punah.
Mengutip KOMPAS.com hingga saat ini ada 14 bahasa daerah di Indonesia yang telah punah. Sementara itu, satu bahasa lagi hanya digunakan oleh satu orang dan dinyatakan nyaris musnah. Dari empat belas bahasa yang punah itu, 10 bahasa dari Maluku Tengah, yakni bahasa Hoti, Hukumina, Hulung, Serua, Te'un, Palumata, Loun, Moksela, Naka'ela, dan Nila. Dua bahasa lainnya dari Maluku Utara, yakni Ternateno dan Ibu. Adapun dua bahasa berasal dari Papua, yakni Saponi dan Mapia.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dadang Sunendar, melengkapi data kepunahan bahasa daerah. Sebanyak 139 bahasa daerah statusnya terancam punah. Terbitnya UU 24/2009 yang menyatakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat (Kemendikbud) wajib menjaga dan melestarikan sastra daerah merupakan upaya untuk mengerem ‘laju’ kepunahan bahasa daerah.
Beberapa versi data kepunahan bahasa daerah boleh berbeda, tetapi pertanyaan yang mengusik benak tak bisa disembunyikan begitu saja. Untuk apa menyelamatkan bahasa daerah yang memang sudah tidak digunakan lagi itu? Bukankah bahasa daerah lebih dekat dengan sikap tradisional dan tidak akomodatif terhadap kemajuan zaman? Sebagaimana suku-suku di pedalaman yang telah punah, begitu pula bahasa daerah yang 'mendekati ajal' bukankah suatu keniscayaan?
Punahnya bahasa daerah berarti punah pula peradaban yang menyertainya. Tidak terbayangkan seandainya kelak Bahasa Jawa benar-benar punah, tembang Lir-Ilir, Sluku-sluku Batok, Padangmbulan, Jaranan, serta tembang daerah lainnya—bukan sekadar asing di telinga anak-anak kita, tapi punah pula nilai-nilai edukasi, filosofi, dan bangunan luhur peradaban yang pernah ditegakkannya.
Tradisi, memori, serta cara berpikir dan berekspresi, yang merupakan warisan yang tak ternilai untuk mencapai masa depan yang lebih baik, pun akan hilang, ungkap Andi Budiwiyanto dalam “Pendokumentasian Bahasa dalam Upaya Revitalisasi Bahasa Daerah yang Terancam Punah di Indonesia.”
Merelakan bahasa daerah punah tanpa upaya revitalisasi bahasa sama halnya dengan mengubur peradaban yang telah melahirkan kita. Sikap ahistoris dan tidak beda dengan seorang anak yang durhaka terhadap ibunya. Sedangkan membangun dan menegakkan peradaban harus ditopang oleh akar peradaban yang kuat menghujam. Akar peradaban itu dikandung salah satunya oleh keragaman bahasa daerah di bumi nusantara.
Kita ambil satu kasus untuk merefleksikan pentingnya memahami akar peradaban. Beberapa waktu lalu kita heboh oleh wacana full day school. Heboh, ramai, bising oleh wacana dan sikap pro-kontra. Full day school seperti barang baru, terkesan lebih keren, modern, lalu kita ramai-ramai menjadikannya 'mainan'. Atau sesungguhnya kita sedang lupa pendidikan khas bangsa Indonesia telah menerapkan model pesantren, perguruan, padepokan yang secara substansial bisa dikatakan lebih unggul. Mengapa bukan akar peradaban-pendidikan semacam itu yang dikaji?
Berangkat dari kasus kepunahan bahasa daerah kita bisa gunakan sebagai cara pandang untuk mencermati, mempelajari, menyadari pentingnya kaweruh lokal yang bernilai universal. Sebut saja pengembangan teori psikologi Jawa yang berangkat dari ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Menurut psikolog UGM,Drs. Hadi Sutarmanto, M.S, psikologi Jawa yang diajarkan Ki Ageng Suryomentaram bisa jadi relevan tidak terbatas bagi orang Jawa saja. Untuk itu Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada tengah mengembangkan teori psikologi dari ajaran Ki Ageng Suryomentaram.
Universalitas kaweruh lokal yang dikandung oleh bahasa daerah semakin meneguhkan pentingnya revitalisasi bahasa. Kita tidak boleh tutup mata. Bahasa bukan sekadar sistem bunyi—bahasa adalah martabat dan harga diri bangsa. []
Jagalan 070916
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H