Kita ambil satu kasus untuk merefleksikan pentingnya memahami akar peradaban. Beberapa waktu lalu kita heboh oleh wacana full day school. Heboh, ramai, bising oleh wacana dan sikap pro-kontra. Full day school seperti barang baru, terkesan lebih keren, modern, lalu kita ramai-ramai menjadikannya 'mainan'. Atau sesungguhnya kita sedang lupa pendidikan khas bangsa Indonesia telah menerapkan model pesantren, perguruan, padepokan yang secara substansial bisa dikatakan lebih unggul. Mengapa bukan akar peradaban-pendidikan semacam itu yang dikaji?
Berangkat dari kasus kepunahan bahasa daerah kita bisa gunakan sebagai cara pandang untuk mencermati, mempelajari, menyadari pentingnya kaweruh lokal yang bernilai universal. Sebut saja pengembangan teori psikologi Jawa yang berangkat dari ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Menurut psikolog UGM,Drs. Hadi Sutarmanto, M.S, psikologi Jawa yang diajarkan Ki Ageng Suryomentaram bisa jadi relevan tidak terbatas bagi orang Jawa saja. Untuk itu Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada tengah mengembangkan teori psikologi dari ajaran Ki Ageng Suryomentaram.
Universalitas kaweruh lokal yang dikandung oleh bahasa daerah semakin meneguhkan pentingnya revitalisasi bahasa. Kita tidak boleh tutup mata. Bahasa bukan sekadar sistem bunyi—bahasa adalah martabat dan harga diri bangsa. []
Jagalan 070916
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H