Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Haji: Menunggu Sampai Nanti, Sampai Mati

31 Agustus 2016   15:51 Diperbarui: 1 September 2016   10:07 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: http://balikpapan.prokal.co/

Beberapa waktu lalu beredar guyonan di grup WA teman-teman, Thailand sedang membuka kesempatan bagi warga Indonesia menjadi pembimbing haji. Fasilitas dan tunjangannya sangat menggiurkan. Silahkan baca persyaratannya di bawah ini, demikian saran pada tulisan itu. Setelah kita scroll ke bawah, persyaratan itu ditulis dengan aksara Thai. Puyeng…

Uaseeem,” tulis seorang kawan.

Ora lungo kaji yo wes…!”

Kawan yang lain ngakak panjang. Ada-ada saja kreativitas manusia Indonesia. Setelah saya pikir-pikir, guyonan pembimbing haji di Thailand itu seakan merefleksikan dambaan menunaikan rukun islam kelima yang tidak pernah pupus. Namun, apa hendak dikata, kita harus menunggu antrian haji, sampai nanti, sampai mati.

Semoga kita tidak melupakan “aksi bersejarah” seorang warga Kec. Sumobito Jombang, Choiron Nasichin, yang mengabadikan dirinya dengan gelar Kaji Nunut alias berhaji dengan menumpang pesawat rombongan haji dari bandara Juanda. Pada 1992 biaya naik haji sebesar 6 juta rupiah. Ongkos yang sangat mahal bagi Choiron. Ia nekad menyusup peswata Garuda untuk “pergi haji” dengan berbekal uang Rp. 54.000.

Waktu itu masa tunggu haji tidak panjang seperti sekarang, yang bahkan sudah mencapai angka di atas duapuluh tahun. Choiron melakukan haji nunut itu lantaran terbentur biaya haji yang tidak terjangkau olehnya. Adapun sekarang, para calon jamaah haji terbentur oleh masa tunggu yang mengerikan. Di Jawa Timur mendaftar haji pada 2016 baru berangkat pada 2036.

Tentu saja itu bukan soal masa tunggu saja. Siapa mengetahui jatah umur seseorang yang tidak bisa ditebak. Ada pula yang menyarankan, daftar saja dulu sambil diikuti niat melaksanakan haji daripada tidak berniat dan tidak mendaftar.

Persoalan belum selesai di urusan niat dan mendaftar. Mereka yang pernah berhaji mengaku selalu teringat Masjidil Haram. Rindu pun memuncak. Niat kembali berhaji tak terbendung lagi. Meski kerap menjadi sasaran kritik dan saran menata ulang sikap beribadah, melaksanakan haji yang ke sekian kali masih menjadi obsesi yang dinilai mulia, luhur, dan berpahala besar.

Entah apa nama sikap beribadah seperti itu. Seakan rindu berhaji berkali-kali itu hanya mereka saja yang merasakannya. Disebut egoisme beribadah kok ya ndak pantes: masa beribadah, apalagi haji, masih dimuati egoisme pribadi. Seorang kawan pernah melontarkan kritik keras.

“Berapapun banyaknya jumlah Pak Haji dan Ibu Haji sampai saat ini belum merubah tatanan kesejahteraan sosial masyarakat di sekitarnya. Haji mereka itu haji langit, bukan haji bumi,” ungkap kawan saya.

“Kok ada haji langit haji bumi?”

“Berhaji yang fokus pada kesadaran vertikal saja. Bagaimana mungkin ada haji seperti itu? Sedangkan haji itu puncak kesadaran seseorang yang sadar-sesadarnya bahwa tanggung jawab menunaikan amanah hablum minannas (hubungan horisontal dengan manusia atau makhluk bumi lainnya) dan amanah hablum minallaah (hubungan vertikal dengan Tuhan) menyatu di pundaknya sebagai wakil Tuhan.”

Tenang, Pembaca. Saya curiga kawan saya ini termasuk golongan yang frustasi akibat masa tunggu haji yang mengerikan itu.

“Apa mereka yang haji berkali-kali itu akan mengkapling surga secara pribadi untuk anak dan keluarganya saja. Sementara di kiri kanannya sampah berserakan. Tetangganya mumet bayar biaya sekolah anak. Sangat ironis ketika seorang koruptor melakukan umroh dan berhaji berkali-kali sebagai upaya “pemutihan” dan pencitraan dirinya di depan publik.”

Demi “kenyamanan” kita bersama saya tidak akan melanjutkan pidato kawan yang frustasi itu. Soal haji berkali-kali itu pemerintah akan mengambil langkah. Pada 2015 Menteri Agama Lukman Saifudin hendak memberlakukan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29. Naik haji cukup seumur hidup. Jamaah yang sudah menunaikan ibadah haji, sepuluh tahun lagi baru boleh kembali berhaji.

Entah bagaimana kabar peraturan menteri itu. Hingga sekarang seakan lenyap diterbangkan angin. Beberapa kalangan malah meragukan efektivitas kebijakan itu. Mengingat dalam hal beribadah, khususnya haji, orang rela melakukan apa saja demi obsesi subyektivisme.

Mendadak kawan saya membaca penggalan puisi Cak Nun, Koruptor Dilarang Masuk Mekah.

...Ternyata aku gagal paham terhadap syariat Tuhan/Tatkala kumasuki pintu utama Masjidil Haram/Ketika berthawaf, ketika antara Shafa Marwa aku berjalan/Dengan sangat banyak para koruptor Negeriku aku berpapasan.

Rumah Allah adalah tempat utama untuk memohon ampunan / Para Maling mencuri sebanyak-banyaknya harta dan uang / Sebagian dipakai untuk biaya perjalanan ke rumah Tuhan / Pulang ke tanah air dalam keadaan suci dan bebas hukuman – 2012

Diam-diam saya bergumam, mereka yang menunggu haji—sampai nanti sampai mati semoga tetap lebih mulia di mata Tuhan daripada mereka yang saat ini niat berhaji saat itu pula bisa langsung berangkat berkat “klik” politik dan kekuasaan.

- (Sampai Nanti Sampai Mati, salah satu lirik lagu Letto).

Jagalan 310816

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun