Ya. Generasi milenial adalah generasi potensial masa depan yang memerlukan pendampingan pengawasan ekstra dari para orangtua. Bukan hanya mengawasi interaksi mereka dengan dunia digital. Bukan sekadar membuat peraturan yang terkesan mengekang. Tapi menanamkan kesadaran diri bahwa level berpacaran tingkat tinggi tak ubahnya mengubur masa depan mereka sendiri.
Ada apa dengan level pacaran tingkat tinggi? Pada April 2016 Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merilis hasil survei Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tentang gaya dan perilaku pacaran para remaja pra nikah usia 15-24. Survei dilaksanakan pada rentang 2012-2014 itu dilakukan di Sulawesi Utara.
Hasil survei menyebutkan 90 persen remaja berpacaran pernah berpegangan tangan; 59 persen mengaku pernah berciuman bibir;
Versi lain hasil survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2012, sebanyak 79,6 persen remaja pria dan 71,6 persen remaja wanita pernah berpegangan tangan dengan pasangannya; 48,1 persen remaja laki-laki dan 29,3 persen remaja wanita pernah berciuman bibir; 29,5 persen remaja pria dan 6,2 persen remaja wanita pernah meraba atau merangsang pasangannya.
Hasil survei SKRRI itu memetakan “level pacaran” remaja kita. Level berpacaran dalam kategori berbahaya dan membahayakan dialami oleh 29,5 persen remaja pria dan 6,2 persen remaja wanita. Bukan tindakan yang mustahil, selangkah lagi mereka melakukan “hubungan” di luar nikah. Pada 2016 SKRRI BKKBN melaporkan 8,3 persen laki-laki dan 1 persen remaja wanita sudah melakukan seksual sebelum nikah. 20,9 persen remaja di Indonesia mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah pada 2013.
Sudah Baligh tapi Belum Aqil
Fakta di atas menunjukkan bahwa para remaja secara biologis sudah mengalami baligh namun secara mental pikiran belum aqil. Fungsi reproduksi biologis bekerja namun tidak atau belum diimbangi oleh kesanggupan berpikir jernih, adil, objektif. Para remaja itu pasti bukan anak-anak tapi belum dewasa.
Bagaimana dikatakan dewasa kalau produktivitas mereka cenderung nol dan lebih bergantung pada asupan orangtua. Mereka belum sepenuhnya mandiri, bahkan cenderung konsumtif dan destruktif. Mengalami kegamangan personalitas, status, dan posisi sosial. Pokoknya serba tanggung.
Antara kenyataan perkembangan biologis dan mental berpikir tidak nyambung. Terjadi split. Perkembangan biologis melaju demikian cepat sementara perkembangan sikap dan cara berpikir berlari di belakang. Mengapa terjadi ketimpangan seperti itu?
Kembali pada pola asuh dan pola pendidikan di rumah. Ketika remaja dekat dengan ibu pendidikan memasuki tahapan baligh relatif terpenuhi. Namun ketika remaja tidak dekat dengan sang ayah yang hampir selalu sibuk bekerja, pendidikan untuk memasuki tahapan aqil menjadi terbengkalai. Ada yang hilang ketika sosok ayah tidak hadir untuk menguatkan aspek ke-aqil-an remaja. Bisa dibayangkan pula bagaimana akibatnya apabila ayah dan ibu sama-sama sibuk di luar, dan anak berteman dengan gawai yang membawanya masuk ke dunia maya, dunia tanpa batas dan tepi?
Maka, meraih masa depan cemerlang selain membangun kesadaran nikah pada usia yang ideal, tahapan proses perkembangan remaja penting pula diperhatikan kedua orangtua. Nikah usia ideal adalah salah satu tahapan diantara sekian tahapan perkembangan sebelumnya. Sedangkan meraih masa depan cemerlang merupakan konsekwensi sewajarnya bagi remaja yang tugas perkembangan sebelumnya telah tuntas.
Orangtua kembali disebut sebagai pihak pendidik yang utama dan pertama. Sekolah memang penting, namun seperti kita ketahui fungsi sekolah adalah (sekadar) mengajar. Peran mendidik tetap berada pada tangan tanggung jawab orangtua. Bagaimana kita menyerahkan pendidikan aqil baligh kepada sekolah, sementara kurikulum tentang itu semua tidak pernah ada. Sekolah mengajarkan pendidikan karakter bukan pendidikan aqil baligh.
Mengajar pendidikan karakter di sekolah cukup berbekal kurikulum dan silabus. Sedangkan mendidik remaja sampai sempurna dan tuntas kesadaran aqil-balighnya membutuhkan cinta dan kasih sayang—yang sumber utamanya berasal dari cinta dan kasih sayang orangtua.
Hanya kedua orangtua yang sanggup mengantarkan anak memiliki “paket” kesempurnaan menjadi remaja yang aqil dan baligh. Mengapa? Aqil-baligh itu satu paket—tidak terpisahkan dan dipisahkan. Aqil adalah dewasa psikologis. Baligh adalah dewasa fisik.
Transformasi Program GenRe
Program GenRe yang diluncurkan BKKBN membantu penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja agar mampu:
- Menempuh jenjang pendidikan secara terencana
- Berkarir dalam pekerjaan secara terencana
- Menikah dengan penuh perencanaan sesuai siklus kesehatan reproduksi
Kita bisa mentransformasi program tersebut—sesuai fakta aqil balig adalah satu paket tak terpisahkan—menjadi tiga pilar utama, yakni:
- Pendidikan aqil baligh
- Mandiri dan produktif
- Nikah usia ideal
Tiga transformasi tersebut merupakan tiga tahapan proses mempersiapkan remaja bukan lagi sebagai remaja tetapi orang dewasa. Bagaimana tahapan transformasi itu dijalankan?
- Aqil balighkan anak kita. Ini peran dan tugas utama orangtua. Ayah sebagai penanggung jawab utama pendidikan dalam keluarga. Ibu sebagai pelaksana utama pendidikan. Kerja sama ayah dan ibu meraih satu tujuan: sang penghuni masa depan mampu dewasa secara pikiran (aqil) dan dewasa secara fisik (baligh), sepenuhnya dewasa—bukan remaja.
- Produktifkan anak kita. Masa sekolah bukan halangan bagi anak untuk belajar menjadi sosok yang produktif bahkan dalam skala sempit, misalnya menghasilkan uang sendiri dari hasil pekerjaan yang halal dan jujur. Bukan sebuah aib bagi pemuda di negara maju sekolah atau kuliah sambil bekerja. Mandiri sepenuhnya—bukan remaja tanggung yang selalu bergantung asupan materi dari orangtua.
- Berilah tanggung jawab agar anak kita sanggup memikul beban. Dengan beban tanggung jawab itu mereka sesungguhnya sedang belajar menjadi bagian dari solusi. Pernikahan bukan sekadar cinta—ia adalah pengejawantahan dari bentuk hubungan yang saling bertanggung jawab antara suami dan istri. Bertanggung jawab sepenuhnya—bukan justru bagian dari masalah.
Bukankah menikah di usia ideal itu juga memiliki syarat, yaitu dilakukan sepenuh tanggung jawab—bukan akibat “ugal-ugalan”? []
Achmad Saifullah (Facebook | Twitter)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H