Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Minat Membaca dan Infrastruktur yang Terbengkalai

29 Agustus 2016   12:46 Diperbarui: 29 Agustus 2016   12:50 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. (Kompas.com)

Berbanding terbalik dengan komponen infrastruktur yang berada di urutan 34 di atas Jerman, Portugal, Selandia Baru, dan Korea Selatan, papar mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, di acara final Gramedia Reading Community Competition 2016 di Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta.

Masih menurut Anies, kenyataan itu menunjukkan masyarakat masih minim dalam memanfatkan infrastruktur yang tersedia. Indikator sukses tumbuhnya minat membaca tak selalu dilihat dari berapa banyak perpustakaan, buku dan mobil perpustakaan keliling.

Mencermati masih rendahnya minat membaca di masyarakat dan infrastruktur yang terbengkalai: terbengkalai perawatannya, terbengkalai pemanfaatannya, terbengkalai “nasib” dokumentasi naskahnya—mengingatkan kita pada Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin (PDSH). Sebagaimana gagasan pendirinya yang dikenal sebagai paus sastra, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin bisa dijadikan rujukan atas keseriusan pemerintah merawat infrastruktur itu.

Ariany Isnamurti, Kepala Pelaksana Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, menuturkan rentang 2003-2007, masa Gubernur Sutiyoso memerintah, PDSH menerima dana hibah, bantuan sosial, bantuan keuangan sebesar 500 juta rupiah. Giliran Fauzi Bowo memimpin DKI dana tersebut masih dipertahankan besaran jumlahnya. Namun pada 2010 anggaran turun drastis menjadi 165 juta rupiah lalu mencapai jumlah terendah 50 juta rupiah.

Setahun memimpin DKI Jakarta, Joko Widodo mengucurkan dana 1,2 miliar rupiah untuk PDSH pada 2013-2014. Anggaran itu lantas kembali menurun ketika Ahok menggantikan Jokowi.

Mengapa dana anggaran makin menyusut? Seperti dilansir beritajakarta.com (27/8/2016), Tinia Budiati, Kepala BPAD DKI Jakarta, menjelaskan anggaran untuk mengelola PDSH harus diserahkan oleh Yayasan pada pertengahan tahun. Sedangkan Yayasan baru menyerahkannya pada Desember sehingga pengajuan itu mengalami keterlambatan dan tidak bisa dianggarkan pada 2016 ini.

“Kekacauan” kerja sama antara pemerintah DKI Jakarta dengan Yayasan pengelola PDSH menjadi cermin “kekayaan infrastruktur” bersama dokumen dan arsip berharga di dalamnya belum menjadi sumber belajar yang menumbuhkan minat membaca di masyarakat.

Itulah kiranya mengapa Anies Baswedan kembali menegaskan untuk menumbuhkan minat membaca bukan semata program yang diperlukan, melainkan sebuah gerakan bersama (movement) yang efeknya lebih terasa dan mengena. Watak sebuah gerakan akan tidak selalu bergerak liner atau atas-bawah, sebagaimana watak hubungan antara pemerintah (pihak yang membantu) dan komunitas membaca (pihak yang dibantu). Belum lagi soal tata kelola birokrasi yang serba formal, rumit, dan njlimet—fakta birokrasi yang kadang membuat kawan-kawan pergerakan komunitas wegah terjebak di dalamnya.

Pemerintah cukup menyediakan regulasi untuk menciptakan atmosfer gerakan yang bisa menumbuhkan minat membaca. Tidak harus serba terstandarisasi seperti pemerintah menstandarkan tata kelola lembaga formal pendidikan. Keragaman sosial budaya yang tersebar di sudut-sudut terpencil bumi Nusantara merupakan modal utama yang tidak boleh layu gara-gara kebijakan pemerintah yang terkesan mengedepankan keseragaman standar pengelolaan. 

Pembangunan infrastruktur untuk memancing minat membaca masyarakat seyogianya tumbuh mengakar dari bawah, datang dari inisiatif, gagasan, program bersama warga setempat, lalu diwujudkan melalui gerakan bersama—bukan dalam rangka berhias dengan formalisme komponen fisik gaya khas pemerintah.

Menumbuhkan minat membaca yang dipupuk dari akar tradisi atau kearifan lokal budaya setempat akan bergerak efektif bukan untuk mendongkrak peringkat minat membaca semata, melainkan benar-benar untuk memenuhi kebutuhan fundamental sebuah tatanan kehidupan masyarakat. 

Tidak mengherankan ketika antropolog Saur Marlina Manurung menilai bahwa minat membaca orang di pedalaman lebih besar daripada orang di kota.  Orang pedalaman memiliki akar budaya membaca yang lebih subtansial dibandingkan dengan intelektualitas orang kota yang bergerak sekilas-sekilas di tataran permukaan.

Orang pedalaman tidak sedikit yang buta huruf, namun mereka "melek aksara"—kode-kode alam, arah angin, aliran sungai, watak musim, pasang surut gelombang laut, perkawinan bintang di hutan. Dan mereka memiliki spesialisasi keahlian melek aksara masing-masing. Mereka lebih canggih mengelola sampah daripada orang kota yang justru hanya menghasilkan sampah berton-ton setiap hari. Siapakah yang sesungguhnya lebih beradab?

Inilah pentingnya watak gerakan: berendah hati dan saling belajar dari keunggulan masing-masing. Sebuah watak kebersamaan yang rasanya hampir sulit ditemui ketika kesadaran minat membaca ditumbuhkan dengan mengandalkan pendekatan program semata. []

Jagalan 290816

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun