Sanksi yang sama sekali tidak membuat keder. Pembajakan buku bagai hantu bergentayangan. UU Hak Cipta tahun 1982 disempurnakan lagi menjadi UU No. 7 tahun 1987. Penegak hukum diberi kewenangan bertindak tanpa harus menunggu pengaduan dari penerbit atau pihak yang menjadi korban pembajakan buku. Sanksinya ditingkatkan menjadi hukuman 7 tahun penjara atau denda Rp. 100.000.000.
Pada 24 April 2015, Anang Hermansyah secara resmi mengusulkan pembentukan Kaukus Anti Pembajakan dan Penegakan Hak Cipta DPR. Anang menegaskan, Kaukus Anti Pembajakan dan Penegakan Hak Cipta DPR RI dimaksudkan secara khusus untuk pengawasan terhadap pelaksanaan UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dua persoalan tersebut menjadi titik temu dan pengikat anggota DPR dengan menggulirkan kaukus ini di parlemen.
Bagaimana seorang penulis menyikapi itu semua?
Penulis Memang Orang yang Kaya
Seperti mengejar bayangan kita sendiri, itulah perumpamaan bagi upaya memberantas pembajakan buku. Bukan kita berkecil hati atau pesimis terhadap setiap langka penegakan hukum. Namun, hal itu sama sekali bukan alasan pembenaran bagi seorang penulis untuk tidak berkarya. Setiap pekerjaan menanggung risiko, dan risiko seorang penulis adalah pembajakan karya tulis, walaupun atas nama dan demi tujuan apa pun membajak karya orang lain adalah sebuah kenistaan yang nyata.
Justru dengan hadirnya setiap risiko pada pekerjaan apa pun, penulis adalah sosok kaya raya dalam pengertian yang substansial. Kaya pengalaman, kaya ide, kaya kreativitas, kaya semangat—bagaikan sumur yang semakin sering ditimba airnya akan semakin jernih dan berlimpah.
Kaya dengan uang berlimpah? Mari kita berhitung sejenak. Dalam sebuah laporan, untuk meraup kekayaan dari hasil penjualan buku, penulis harus menghasilkan sedikitnya 75 buku dalam setahun. Ia memerlukan waktu sepuluh jam sehari untuk menulis 14 kata setiap menit.
Kerja rodi semacam itu belum tentu juga membawa penulis tiba di garis minimal agar disebut “kaya”. Menurut pembayaran global VISA dalam survei 2013 batasan minimun orang kaya di Indonesia adalah individu berpenghasilan 12,5 juta rupiah per bulan atau 150 juta rupiah per tahun. Katakanlah penulis menjual putus bukunya kepada penerbit seharga 2 juta rupiah, maka ia harus menuntaskan 6 buku dalam sebulan. Itu baru batas minimal uang 12 juta rupiah yang berhasil dicapai penulis agar mendekati limit penghasilan orang kaya.
Waktu sepuluh jam sehari untuk menghasilkan enam buku dalam sebulan dikerjakan tanpa menggaruk punggung, mulet, angop—ia duduk tegak mengetik kata demi kata agar menghasilkan 840 kata selama satu jam. Siapa sanggup?
Alhasil, kekayaan seorang penulis tidak semata diukur dari penghasilan rupiah yang berhasil diraupnya. Ketika seorang pembaca menemukan momen “wow” atau “ooo…”, atau “iya…ya”, atau “hiks, sedih rasanya…”, atau pembaca berhasil memantik ide dan gagasan baru dari aktivitas membacanya, yang menurut Hernowo berkat kepiawaian penulis menyajikan buku yang bergizi—semua itu adalah kekayaan tak ternilai bagi seorang penulis.
Audiens seorang penulis bukanlah kepada para pembacanya semata. Ketika jari-jari mengetik kata per kata, kalimat per kalimat, menuangkan gagasan pikiran dan imajinasi sesungguhnya penulis sedang beraudiensi dengan Pemilik Kehidupan. Dihadapan Pemilik Kehidupan itu penulis hadir telanjang dengan segenap kejujuran dan kepolosan bagai bocah.