Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membesarkan Anak dengan Biaya “Pas-pasan”

25 Agustus 2016   20:13 Diperbarui: 26 Agustus 2016   10:33 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kawan saya berkisah tentang kawannya semasa SMA yang sukses menjadi sales manager di ibu kota. Ia mengantongi pendapatan tak kurang dari Rp. 20 juta per bulan. Dengan satu anak putri yang bersekolah di taman kanak-kanak, kawannya kawan saya mengaku tidak mengalami kesulitan sama sekali membiayai pendidikan anaknya. Ia sangat optimis dengan rencana pendidikan anaknya hingga perguruan tinggi, dan bahkan telah “dicicil” sejak sekarang.

Menurut kisah kawan saya, kawannya itu menyisihkan sedikitnya 30 % dari penghasilan per bulan untuk “investasi” pendidikan anaknya. Dengan penghasilan sebesar itu—walaupun menurut ukuran hidup di Jakarta—baginya bukanlah pekerjaan yang sulit. Apalagi pengeluaran rata-rata Rp. 7 juta per bulan untuk keperluan anaknya itu bisa dipenuhinya tanpa harus pontang-panting umpamanya dengan cara berhutang.

Bagaimana dengan kawan saya yang mengisahkan “kesuksesan” hidup kawannya itu? Kawan saya mengaku terkejut dan sempat tersinggung atas respon sang sales manager ketika ia menceritakan bagaimana menjalani hidup.

“Gila kamu!” kata sales manager. “Dengan penghasilan segitu kamu berani nikah dan memiliki tiga orang anak.”

"Tersinggung saya!"

Mendengar respon yang dia ceritakan itu spontan saya tertawa keras. “Memang kamu gila!” ucap saya kepada kawan saya. “Saya juga gila. Teman-teman kita gila semua. Penjual gorengan di pinggir jalan lebih gila lagi. Ah, jangan-jangan kawanmu yang sales manager itu bukan manusia Indonesia ya? Atau setidaknya ia kehilangan ‘mental tangguh’ manusia Indonesia.”

Kawan saya memiliki tiga orang anak. Anak pertama sekolah di SMP, anak kedua di sekolah dasar, anak ketiga di taman kanak-kanak. Ia seorang pekerja tangguh. Sebelum shubuh ia sudah berangkat ke pasar, kulakan bahan-bahan untuk membuat pentol. Istrinya memasak untuk sarapan pagi dan makan siang, karena jam enam pagi harus berangkat untuk mengajar sebagai guru honorer di madrasah ibtidaiyah (MI). Jarak rumah ke sekolah sekitar 35 km.

Jam tujuh pagi kawan saya berangkat dengan rombong berisi pentol dan tahu menuju kantin sekolah yang tak jauh dari rumahnya. Ia berjualan sampai jam sepuluh siang. Menjelang waktu dhuhur ia bersiap kembali untuk membuka warung mie ayam di depan rumah sampai pukul delapan malam.

Entah berapa penghasilannya saya kurang tahu pasti. Yang pasti tidak sebesar pendapatan sales manager ibu kota. Kawan saya memang cukup “gila” untuk bermimpi tentang masa depan anak-anaknya, apalagi ia “hanya” seorang penjual mi ayam. Kegilaan itu mendorongnya untuk sedikit demi sedikit menyisihkan penghasilannya dalam tabungan. Walaupun “gila” teman saya memiliki tabungan juga.

Mau lebih ekstrem lagi? Ia tak sedih memandang masa lalu, tak cemas menatap masa depan. Juga seorang sahabat karib yang sering berkunjung ke rumah saya. Bagaimana tidak ekstrem, ia menjalani hidup dan mengelola pikiran-perasaan benar-benar untuk saat ini, disini. Ya, sekarang dan disini.

Di kantongnya terselip uang seratus lima puluh ribu rupiah untuk bayar SPP bulanan sekolah anaknya. Pagi itu saya sudah nongol di rumahnya. Ngobrol sejenak dua jenak, tidak beberapa lama, seorang tetangga datang. Tetangga hendak pinjam uang untuk bayar tagihan listrik.

“Berapa?” tanya kawan saya.

“Seratus lima puluh ribu.”

“Ini, kamu bawa,” katanya seraya merogoh sakunya lalu menyerahkan “satu-satunya” uang jatah bayar SPP anaknya. “Uang ini memang rejekimu.”

Saya melongo. Ini jenis kegilaan dalam perspektif ruang dan waktu yang pasti berbeda dengan tuduhan sales manager.

“Bayar SPP kan nanti,” ungkapnya, seperti menangkap keganjilan di hati saya. “Batas terakhir masih tiga hari lagi.”

Begitu hari “H” bayar SPP tiba, selalu saja ada uang untuk membayarnya—tanpa perlu berhutang.

Apa Kata Wall Street Journal?

Saya tidak akan merekomendasikan salah satu “watak” ketiga kawan saya di atas, mana yang hendak Anda pilih. Setiap manusia otentik menempuh dan mengolah hidupnya—juga otentik saat menatap masa depan keluarga dan anak-anaknya. Pertimbangan dan proyeksi masa depan tetap diperlukan agar akurasi pilihan tidak melenceng jauh.

Berapa estimasi besaran biaya untuk membesarkan anak? Wall Street Journal pernah merilis laporan besaran biaya untuk anak sampai ia berusia 18 tahun adalah $245.350 atau setara 3,3 miliar rupiah. Asumsi ini berlaku untuk standar Amerika Serikat.

Ed Bowsher, seorang konsultan keuangan pada situs lovemoney.com yang melakukan penelitian, seperti dikutip Republika.co.id, menyatakan, “Semua orang memahami membesarkan anak sangat mahal. Namun sangat menarik untuk melihat hasil penelitian yang mengungkap anak perempuan menghabiskan lebih banyak biaya."

Peneliti menemukan, orangtua rata-rata menghabiskan uang lebih banyak 2.126 pondsterling atau sekitar Rp 28 juta per tahun untuk pakaian, sepatu, hadiah, aktivitas dan klub olahraga untuk gadis kecilnya. Angka total dari peneliti Inggris tersebut yaitu sekitar 28.439 pondsterling atau sekitar Rp 373 juta pada usia 5-18 tahun. (Republika.co.id)

Berkah ataukah Bencana?

Bagaimana Indonesia? Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan angka kelahiran meningkat rata-rata 1,49 persen per tahun. Sampai dengan akhir 2015, kelahiran di Indonesia menyentuh angka 4.880.951 bayi.

Meningkatnya rata-rata angka kelahiran itu selain beban juga menjadi berkah. Generasi milenial itu akan menjadi generasi potensial di masa mendatang. Namun dengan satu catatan, pendidikan mereka harus benar-benar terjamin. Jika tidak, angka kelahiran yang besar itu bagai bom waktu saja.

Kembali merujuk pada data BPS, populasi kelas menengah ke atas dengan pendapatan lebih dari lima juta rupiah per bulan di perkotaan mencapai 59 % dari total penduduk di Indonesia. Artinya, secara rasional kelas menengah di perkotaan diperkirakan mampu membiayai anak mereka sampai dewasa.

Ini bukan iming-iming untuk menempati kelas menengah ke atas kita harus berhijrah ke kota. Kebutuhan dan harga hidup di kota besar pasti lebih tinggi daripada di desa. Fokus kita adalah membiayai dan menata masa depan anak. Bukan berbondong-bondong ke kota.

Apalagi proporsi pengeluaran di kota dan desa tidak jauh berbeda. Proporsi pengeluaran 31,3 % masih didominasi kebutuhan makanan, 20,9 % kebutuhan transportasi, kemudian 16,4 % kebutuhan pendidikan, 9,2 % kesehatan, 6,4 % pakaian, dan kebutuhan lainnya 14,2 %.

Modal “Pas-pasan”

Sudahlah. Rasionalitas hitung-hitungan besaran biaya anak-anak sampai dewasa cukup dihitung saja. Selebihnya, kita memelihara niat dan iktikad yang baik lalu direalisasikan dengan bekerja secara jujur dan sungguh-sungguh.

Saya jadi teringat sopir taksi yang pernah diceritakan Cak Nun. Sopir taksi lewat di sebuah gang pada jam tertentu, menit tertentu, detik tertentu—lalu muncullah seseorang dari gang tersebut, melambaikan tangan memanggil taksi itu.

Adegan apakah itu? Bisakah kita atau sopir taksi itu sendiri memperkirakan akan terjadi adegan pemanggilan itu? Bahkan pun ia sopir taksi online akan kita jumpai beragam kemungkinan atau bahkan semacam “misteri” pada momen tertentu saat bertemunya taksi dengan penumpang.

Paling aman adalah menggunakan jurus “pas”. Waktu bayar SPP sekolah anak, “pas” ada "uang. Waktu bayar cicilan, “pas” duit sudah terkumpul. Waktu bayar hutang, “pas” yang nagih lupa. Betul juga kata kawan saya, “Saya membesarkan anak dengan modal “pas-pasan”.[]

Jagalan 250816

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun