Berbincang dengan beberapa guru yang mengajar di daerah pinggiran sungguh membuat hati miris. Berbagai cerita mengalir mulai dari rendahnya partisipasi orangtua, memudarnya jiwa mendidik dari para guru, sampai friksi yang kerap mewarnai pola pergaulan guru pegawai negeri dengan guru honorer.
Semua kenyataan itu ditumpahkan begitu saja sehingga mendadak muncul gagasan, ketika sedang mendengar cerita itu kapan-kapan akan saya siarkan secara “live” atau entah bagaimana caranya terhubung secara langsung dengan menteri pendidikan.
Mengakhiri cerita itu kawan saya menyisakan satu pertanyaan, “Yang manakah ‘wajah’ Indonesia dalam praktik pendidikan kita?”
Saya merasa gelisah sendiri. Kalau Cak Nun pernah menulis “Indonesia Bagian Dari Desa Saya”, bisa kita pinjam untuk memproyeksikan pertanyaan lanjutan, merespon pertanyaan kawan saya tadi.
Indonesia bagian dari pendidikan ataukah pendidikan bagian dari Indonesia? Indonesia mewarnai pendidikan ataukah pendidikan mewarnai Indonesia? Kita menemukan “wajah” Indonesia dalam pendidikan ataukah menemukan “wajah” pendidikan dalam Indonesia?
Apabila simulasi pertanyaan yang bisa berkembang itu tidak segera dirumuskan jawabannya, saya khawatir—tanpa kita sadari karena (mungkin) koordinat persoalannya tidak cukup strategis untuk menopang ambisi kekuasaan dan nafsu kekayaan—kita telah memulai dan sedang kehilangan ke-Indonesia-an. Bagi generasi milenial yang dididik dalam atmosfer komunikasi global, masihkah terlukis bagaimana wajah kepribadian Indonesia?
Kita akan dengan mudah menyatakan, bukankah kita memiliki pendidikan Pancasila? Dahulu ada mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), Penataran P4. Sekarang kabarnya Kurikulum 2013 lebih mantab lagi menekankan pendidikan karakter.
Saat ini pendidikan nasional telah menemukan kebebasannya namun belum independen. Intervensi politik kekuasaan cukup kentara menggoreskan warnanya di atas kanvas pendidikan.
Jabatan politik tidak digunakan untuk menciptakan atmosfer kebijakan pendidikan yang kondusif dan akomodatif terhadap ide-ide lokal. Birokrasi pendidikan yang digerakkan oleh nyawa kekuasaan justru memagari gerak kreativitas pelaku pendidikan.
Gerakan reformasi pendidikan global menjadi acuan untuk mengambil kebijakan dan regulasi. Indikasinya adalah proses pembelajaran distandarkan, fokus pada literasi dan numerasi, memakai kurikulum yang diwajibkan, mengelola sekolah dengan orientasi kebutuhan pasar, menjadikan tes sebagai alat kontrol mengukur akuntabilitas.
Jika pendidikan belum merdeka, maka sekolah adalah pemberi harapan palsu. Mencita-citakan manusia kreatif tapi praktiknya membunuh kreativitas. Mendambakan manusia berkarakter tapi pembelajaran dan teladan guru miskin karakter. Menyiapkan generasi masa depan penerus bangsa tapi mengabaikan warisan kearifan bangsa. Menularkan nasionalisme dan cinta tanah air tapi generasi terbaik ditelantarkan ide dan penemuan kreasinya.
Merdeka adalah berani mengambil sikap independen. Pendidikan yang merdeka dan memerdekakan adalah pendidikan yang independen, menyemai pembaruan sambil menghormati warisan pedagogis budaya sendiri.
Bagaimana nasib pendidikan di Indonesia? Tentu nasibnya ada di tangan kita, di tangan bangsa ini, sebagaimana dinyatakan Bung Karno, “…kita tetap menyusun tenaga kita sendiri, kita tetap percaya kepada kekuatan sendiri.”
“Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib-bangsa dan nasib-tanah-air di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya.” (Indonesia Menggugat Dunia)
Nasib pendidikan negeri ini jangan sampai dipimpin manusia karier yang berjuang untuk diri dan kelompoknya. Yang mengalami nasib pendidikan bukan satu dua kelompok saja melainkan seluruh anak bangsa. Yang mendambakan nasib baik menjadi manusia bermartabat bukan dari kelompok aliran politik tertentu melainkan semua rakyat yang bahkan buta sama sekali dengan politik. Yang bersiap menjadi penghuni masa depan bukan anak-anak pimpinan aliran, organisasi, politik, ormas saja melainkan anak-anak nelayan, petani, buruh yang tidak usah harus menjadi pendukung fanatik kelompok tertentu.
Yang dibutuhkan oleh pendidikan bukan sekadar jabatan menteri walaupun tidak berarti tidak perlu ada menteri. Pendidikan bangsa ini membutuhkan hadirnya seorang negarawan (pendidikan), boleh dari warna politik apa saja, golongan apa saja, aliran apa saja, madzhab apa saja yang berpikir dan bekerja tentangindependensi pendidikan, walaupun dengan mendayagunakan warna dan golongannya.
Negarawan pendidikan yang boleh saja berangkat dari kendaraan politik namun terminal akhirnya bukan politik kekuasaan itu sendiri. Jabatan politik itu tidak lebih sebagai kendaraan untuk ngimbal nasib pendidikan anak bangsa agar tiba di tujuan. Negarawan pendidikan, memakai istilah Cak Nun, adalah manusia paska kepentingan, yang fokus kegiatan berpikir dan bekerjanya adalah pendidikan bangsa.
Dan orang itu bisa siapa saja yang memiliki mata visioner pembaruan ke depan namun menghikmahi pandangan leluhur bangsa sebagai akar atau pondasi untuk mencapai visi pendidikan. Sehingga anak Madura tidak akan hilang Madura-nya, anak Jawa tidak hilang Jawa-nya, anak Dayak tidak hilang Dayak-nya, dan seterusnya.
Dalam momentum kemerdekaan ini sedikitnya dua agenda pendidikan yang mendesak untuk dirumuskan kembali. Pertama, mencari kembali keunggulan dan kekuatan pendidikan bangsa Indonesia. Kedua mentransformasikannya ke dalam sistem dan model pembelajaran yang mengakomodasi keunikan pribadi siswa.
Mulai sekarang kita bisa nyicil mengerjakan dua agenda itu dengan rintisan sederhana berskala lokal. Yang penting di dada kita bergemuruh tekad: Indonesia, sekarang, selamanya! []
Mentoro 190816
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H