Gerakan pendidikan yang dipelopori oleh komunitas, paguyuban, atau yang berbasis pada pemberdayaan warga merupakan wadah bagi anak-anak untuk belajar tentang pluralitas kehidupan. Pengalaman bergaul bersama penggerak pendidikan di dusun Bajulmati Kec. Gedangan Kab. Malang membuktikan bahwa gerakan belajar berbasis komunitas yang berakar pada keterlibatan warga dusun cukup efektif membentengi anak dari sikap aroganisme dan anarkisme.
Bahan pelajaran di sekolah yang hanya menuntut kemampuan kognitif tidak selalu bisa diandalkan. Yang dibutuhkan adalah pengalaman nyata, dan anak-anak dusun Bajulmati benar-benar mengalaminya. Pada suatu pagi mereka menghadiri acara memasuki rumah baru temannya. Kebetulan tuan rumahnya berbeda agama dengan mayoritas anak-anak yang hadir. Selain anak-anak undangan dihadiri oleh tetangga sekitar.
Giliran membaca doa untuk keselamatan tuan rumah dan semua warga dusun, Pak Izar mengajak semua yang hadir termasuk anak-anak memanjatkan doa sesuai agama dan keyakinan masing-masing. Suasana yang damai itu hadir secara nyata di depan anak-anak. Saya yakin pengalaman itu akan melekat di ingatan jangkan panjang (long term memory) hidup anak-anak dusun. Mereka bukan sekadar belajar merawat hubungan baik dan menjalin kerukunan beragama—anak-anak itu bahkan mengalaminya secara langsung.
Gerakan merawat kerukunan hidup beragama perlu dimulai dari akar rumput dan melibatkan tokoh-tokoh lokal. Mereka bukan sekadar piawai berorasi tapi memberikan teladan langsung bagi warga terutama anak-anak bagaimana merawat kerukunan hidup beragama. []
Jagalan 160816
Achmad Saifullah Syahid (Facebook | Twitter)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H