Pengalaman saya bersama kawan sepermainan tidak ada bibit permusuhan apalagi perilaku mengancam, baik dari pengurus klenteng maupun orangtua kami. Selama kami bisa menjaga tata aturan yang berlaku, lingkungan tempat peribadatan umat Kong Hu Cu bukanlah area terlarang bagi warga, kecuali ruang tertentu yang setiap orang tidak diperkenankan masuk.
Demikian pula dengan para orangtua yang mengijinkan anak-anak menonton pertunjukan wayang titi. Asal tahu waktu, menjelang adzan maghrib, kami sudah harus kembali berkumpul di mushola untuk shalat maghrib berjamaah.
Menghadirkan Pengalaman Merawat Kerukunan Beragama
Berbekal pengalaman masa kecil itu sungguh saya tidak bisa memahami ketika sebuah kesalahpahaman berakhir dengan tindak kekerasan yang saling balas dan menghancurkan. File pengalaman yang telah tertanam dalam akal kesadaran sejak kecil akan berontak ketika menyaksikan perseteruan akibat ulah satu atau dua orang berpikiran sempit dan picik.
Di dalam benak kami kesadaran paling dalam yang terukir adalah indahnya kebersamaan dan kerukunan bukan sebatas cerita atau dongeng melainkan hadir secara nyata dalam pengalaman hidup. Karena itu memberikan pengalaman indahnya kebersamaan dan kerukunan antar umat beragama kepada anak-anak bukan hanya mendesak—bahkan dalam situasi kekinian menjadi wajib adanya.
Kebersamaan dan kerukunan tidak cukup ditularkan melalui dongeng meskipun dongeng terbukti cukup efektif untuk memantik imajinasi. Tidak sebatas memberi nasehat bahwa menjalani hidup kita harus rukun meskipun nasehat terbukti ampuh untuk membuka kesadaran.
Lebih dari cerita, dongeng, dan nasehat, anak-anak memerlukan pengalaman nyata, menjalani kehidupan yang rukun, guyub, toleran dan saling menghormati antar para pemeluk agama. Mereka harus terlibat secara nyata: merasakan, menemukan, mengalami sendiri bahwa kebersamaan dan kerukunan itu indah.
Merujuk pada pengalaman saya di masa kecil, anak-anak jangan sampai tidak merasakan indahnya bergaul dengan lingkungan beda agama. Klenteng Hok Liong Kiong bisa menjadi salah satu sumber belajar untuk membentuk sikap saling menghargai itu. Apalagi anak-anak zaman sekarang terkesan cuek terhadap lingkungan sekitar karena asyik bersama gawainya. Jangan sampai individualisme menjadi katalisator yang memantik sikap anarkisme di masa yang akan datang.
Belajar Hidup Rukun dari Warga Dusun