"Jika masa depan telah hilang apa masih perlu ikut tarik tambang?” Membaca kalimat penuh gugatan itu pertama kali yang saya rasakan adalah tidak tertuju pada anak-anak, sang pemilik masa depan negeri ini, melainkan kepada diri sendiri, atau juga kita semua. Masa depan kita terletak di ke-kini-an, sekarang, di sini, apa yang bisa kita lakukan untuk merengkuh anak-anak itu agar tidak kehilangan masa depan?
Siapakah mereka, anak-anak itu, yang jika masa depan telah hilang apa masih perlu ikut tarik tambang? Mereka adalah anak kita sendiri, atau anak-anak yang telah terbiasa berpikir untuk mendapatkan penghasilan tetap dan tempat tinggal. Anak-anak yang tidak paham risiko kekerasan seksual, penyakit menular, hingga pelanggaran atas keselamatan mereka (Ahmad Sofyan, Koordinator Nasional End Child Prostitiution and Child Pornography (Ecpat) Indonesia).
Khusus di Ibu Kota, merujuk data yang dimiliki Dinas Sosial (Dinsos) DKI Jakarta, jumlah anak jalanan di metropolitan terus meningkat seperti halnya angka nasional. Pada 2015, jumlah anak jalanan mencapai 7.300 anak. Angka ini melonjak hampir 30 persen ketimbang tahun 2010 yang mencapai 5.650 orang. Anak-anak ini sehari-hari bekerja sebagai pengemis, pengamen, pengelap kaca mobil, pedagang asongan, joki 3 in 1, dan juru parkir liar. (merekamerdeka.com)
Siapakah mereka, anak-anak itu, yang jika masa depan telah hilang apa masih perlu ikut tarik tambang? Bukan anak jalanan di kota metropolitan saja. Mereka adalah anak-anak di pelosok desa dan dusun, di sudut-sudut paling terpencil bumi nusantara, dengan layanan pendidikan apa adanya, bangunan sekolah apa adanya, fasilitas apa adanya, guru apa adanya, metode belajar apa adanya, kesadaran orangtua apa adanya.
Mereka yang jauh dari hiruk pikuk perdebatan gagasan full day school, simpang siur penerapan kurikulum 2013, mobilitas sertifikasi guru, proyek pengadaan buku mata pelajaran. Menjalani hidup hari demi hari dengan menjadikan sekolah sebagai selingan di tengah tuntutan pekerjaan demi mempertahankan hidup.
Dengan mudah kita menyatakan situasi hidup yang dialami anak-anak itu bukanlah situasi merdeka. Bagaimana dikatakan merdeka apabila hidup mereka masih dijajah dan tertindas oleh tuntutan paling primer sehingga mereka harus melawannya, baik secara terpaksa atau senang hati?
Ketika anak-anak itu menjalani hidup tidak menurut situasi ideal saat mereka bisa bermain bersama teman-teman, tertawa lepas, mengekspresikan rasa kemanusiaan seorang bocah dalam atmosfer kebahagiaan yang natural—bukan mengambil peran untuk mencari makan.
Ketika anak-anak itu pada kasus situasi yang berbeda bermain riang, saling kejar, saling tangkap, saling dorong—bukan suntuk menatap layar gadget, fokus dengan kemerdekaan pribadinya, abai dengan suasana sekeliling, tidak peduli dengan kehadiran orang lain demi mencapai sukses artifisial yang disuguhkan oleh “negara maya”.
Merdeka bagi anak-anak adalah menjalani hidup sesuai fitrah kemanusiaan dan tahap perkembangan emosi sesuai usia perkembangannya—bukan mengalami berbagai “inflasi” yang mencabut akar peran kesadaran sebagai bocah.
Memerdekakan anak-anak adalah dengan memerdekakan pendidikan. Anak-anak masih memiliki harapan, masa depan, cakrawala cita-cita selama pendidikan menghadirkan sebuah taman belajar yang aman dan nyaman, menghargai seluruh dimensi kemanusiaan, mengapresiasi keunikan sebagai makhluk Tuhan, yang sengaja disiapkan oleh-Nya menjadi penghuni masa depan.
Memerdekakan pendidikan, bagaimana itu? Sedikitnya dua agenda agar pendidikan merdeka dari ketertindasan yang menekannya. Pertama, mengembalikan pendidikan kepada khitahnya, khususnya model dan sistem sekolah, pada gagasan Bapak Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara, sebagai sebuah taman bermain yang aman, nyaman, dan menggembirakan. Sekolah benar-benar merdeka dari sistem dan model pembelajaran yang mengintimidasi, memecah belah, menjajah dimensi kemanusiaan seorang siswa.