Belum tuntas gagasan FDS diperbincangkan oleh publik dan langkah apa yang seharusnya diambil untuk menemukan kembali “karakter” dan “model” pendidikan di Indonesia, luka pendidikan kembali sobek. Kita tidak begitu kaget, apalagi sampai sontak, mungkin disebabkan oleh frekwensi kejahatan yang terjadi dalam institusi pendidikan bukan perkara baru. Lama-lama kita merasa “kebal” oleh kasus demi kasus yang cukup secara sekilas kita ikuti beritanya.
Kepekaan kita terhadap rasa sakit yang melukai pendidikan bertambah tumpul. Kita berada pada situasi emosi yang diam-diam menilai bahwa kasus kekerasan yang menimpa guru atau murid tidak usah gelisah secara berlebihan. Apa pasal? Yang penting anakku, anakmu, anak kita semua tenang-tenang saja di sekolah. Toh mereka sudah aman dan nyaman dibimbing oleh para guru berdedikasi tinggi. Adapun kasus penganiayaan dan kekerasan pada guru atau murid toh berada di luar sana.
Pernyataan para pejabat yang terkait dengan kasus tersebut, paling pol adalah menyayangkan. Sikap yang terkesan lemah dan miskin ketegasan. Kadang kita merasa geram namun ketika membaca sikap “menyayangkan” dari para pejabat membuat kita nglokro. Layanan pendidikan yang dinodai oleh dehumanisasi pada akhirnya cukup disayangkan—dan tidak lagi mengenaskan.
Kasus demi kasus penganiayaan dan kekerasan yang terus berulang menandakan pondasi pendidikan kita sedang keropos sekeropos-keroposnya. Kita tidak kunjung berendah hati dan mengakui bahwa sistem dan model sekolah yang digagas atau dikembangkan selama ini belum sesuai dengan fakta kebangsaan nusantara.
Sekolah berstandar internasional, full day school, kurikulum pendidikan, pola pembinaan guru, sentralisasi pendidikan, pemerataan pendidikan, wajib belajar (menjadi wajib sekolah), semua itu lebih didominasi oleh wacana yang diilihami oleh “bangsa luar”. Kalau bercermin dari reformasi pendidikan di Finlandia, kita mengikuti jalur agenda reformasi pendidikan internasional daripada menggali dan menemukan kesejatian pendidikan khas bangsa kita sendiri.
Kita bertekad mengejar ketertinggalan pendidikan dengan mengadopsi cara berpikir dan kebijakan negara lain secara parsial dan sepinta lalu saja. Gagasan FDS yang hari-hari ini muncul kembali itu pun secara nyata disampaikan karena Finlandia telah berhasil menerapkannya.
Beberapa sekolah mahal tingkat menengah pertama, tanpa upaya eduksi pada wali siswa dan masyarakat, dengan gagah memasang program Cambridge. Padahal lulus dari SMP itu sebagian besar siswa cukup melanjutkan ke SMA di kabupaten yang sama. Program Cambridge yang ditawarkan itu tidak harus dipikirkan tindak lanjutnya karena sekolah dan wali siswa saling membutuhkan penegasan simbol sosial.
Selain untuk membeli status sosial, pendidikan menjadi semacam “pabrik” untuk mereproduksi kepentingan kelas. Siapa pelakunya? Mereka yang merasa berkepentingan untuk melanggengkan “kasta” sosial agar tetap berada di kelas atas. Bahan baku yang disetorkan tiada lain adalah rupiah dalam jumlah yang cukup mahal. Tahta kelas sosial yang berhasil dicapai oleh orangtua harus diwarisi dan diwariskan pada anak. Mereka menyebutnya masa depan yang cerah bagi anak.
Berhubung masa depan adalah “sesuatu” yang gaib, maka ia sangat mudah diplesetkan dan diintervensi oleh kepentingan-kepentingan untuk melanggengkan kasta sosial.
Lalau dimanakah posisi guru diantara “mata rantai” reproduksi kelas itu? Bisa dipastikan guru berada di ujung paling akhir “mata ranta” yang harus siap “dimangsa” oleh wali siswa, kepala sekolah, pengawas sekolah, kepala dinas pendidikan—dan harus lebih siap lagi untuk dimangsa oleh kebijakan dan regulasi pendidikan yang setiap menit bisa berubah.
Ditambah posisi status sosial guru yang entah sampai kapan terkesan sebagai Oemar Bakri yang layak disantuni dan perlu diberdayakan kehidupan ekonominya. Walaupun sertifikasi guru telah menjamin kehidupan ekonomi guru lebih meningkat namun hal itu bukan berarti guru aman dari “tindak pemangsaan”. Mengapa? Sertifikasi tidak selalu diikuti oleh peningkatan kinerja, sedangkan tunjangan profesi guru terus mengalir. Bukankah hal itu merongrong wibawa dan keampuhan seorang guru di mata publik?
Penganiayaan terhadap guru pada akhirnya bukan sebatas tindak kejahatan secara fisik. Guru dipukul wali murid, guru dikriminalisasikan, guru dipotong tunjangan profesinya, merupakan percikan-percikan kecil diantara gelombang besar penganiayaan ketika guru berada dalam “mata rantai” kepentingan reproduksi kelas.
Selagi “mata rantai” itu tidak diputus dengan mereposisi guru dalam konteks mengembalikan substansi pendidikan, kekerasan dan penganiayaan bukan perkara baru di negeri ini. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H