Bagaimana akan menerapkan sistem pembelajaran yang berkeadilan kalau semangat yang diusung adalah semangat penyeragaman di tengah keragaman? Bagaimana akan menerapkan model pendidikan beradab kalau akar gagasannya telah tercerabut dari tanah ibu pertiwi? Bagaimana akan menerapkan pendidikan berkarakter kalau sentralisasi pendidikan mengebiri kearifan budaya lokal yang sarat dengan ajaran luhur budi pekerti?
Gagasan pendidikan yang tercerabut dari tanah leluhur ini sesaat tampil sebagai solusi, padahal solusi itu justru menghadirkan persoalan baru. Seorang kawan berkelakar, “Kebijakan yang menghina semboyan Pegadaian,” katanya. “Masih mending Pegadaian, Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah. Pak Muhadjir menyelesaikan masalah dengan menambah masalah.”
Saya jadi teringat tembang jawa zaman kecil dulu. E…dayohe teko / E…gelarno kloso / E…klosone bedhah / E…tambalen jadah / E…jadahe mambu / E…pakakno asu / E…asune mati / E…kelikno kali / E…kaline asat / E…centelno pager / E…pager ambruk / … (Tamunya sudah datang / Gelarkan tikar / Tikarnya bolong / Ditambal jadah (makanan) / Jadahnya busuk / Berikan anjing biar dimakan / Anjingnya mati / Bangkai anjing dibuang ke sungai / Sungainya surut / Bangkai anjing diletakkan di pagar / Pagarnya ambruk / …
Nenek moyang kita memang cerdas membaca zaman. Tembang E Dayohe Teko merefleksikan banyak persoalan ketika solusi justru menambah masalah baru.
Maka, tipikal anak Indonesia itu lebih sesuai bersekolah selama lima jam ataukah bersekolah sampai jam lima? Terhampar banyak pilihan sistem pembelajaran di sekolah. Menerapkan satu sistem belajar bagi semua sekolah di Indonesia akan menghadirkan gebrakan yang dilematis dan kontra produktif—seperti digambarkan oleh tembang E Dayohe Teko. []
Jagalan 100816
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H