Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kurikulum Tiga Menteri, Sebuah Ambiguitas?

7 Agustus 2016   00:41 Diperbarui: 7 Agustus 2016   07:41 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
K-13 | Ilustrasi: https://bangfajars.wordpress.com/2014/11/17/kumpulan-meme-kurikulum-2013/

Ya. Kurikulum 2013 (K-13), kurikulum yang dalam waktu cukup singkat mengalami pergantian tiga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dimulai dari M. Nuh, Anies Baswedan, dan kini, Muhadjir Effendy.

Keputusan yang mengejutkan banyak pihak, K-13 hadir menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006. Waktu itu M. Nuh merasa sangat yakin bahwa K-13 dapat memecahkan masalah pendidikan di Indonesia.

Menyikapi pro dan kontra penerapan K-13 yang terkesan mendadak itu, M Nuh menyatakan, pihak yang menolak itu bukan pemain inti dalam pendidikan nasional. “Yang ramai nolak itu yang enggak punya sekolahan dan bukan pengelola sekolahan," tegas M. Nuh.

Sadar dengan keterbatasan sekolah, pemerintah memutuskan pada tahun pelajaran 2013/2014, pada pertengahan 2013, K-13 diterapkan secara terbatas pada sekolah perintis, yaitu pada kelas I dan IV untuk tingkat Sekolah Dasar, kelas VII untuk SMP, dan kelas X untuk SMA.  

Sekolah yang mengimplementasikan K-13 pada awalnya berjumlah 6.221 sekolah dan akan dievaluasi kinerjanya, tiba-tiba menyeret sekolah lain. Dalam waktu cukup singkat tidak kurang 211.799 sekolah beramai-ramai menerapkan K-13.

Ibarat mobil yang belum lulus uji kelayakan, K-13 menjadi kendaraan yang ditumpangi sangat banyak sekolah, guru, dan siswa. Di tengah pro dan kontra, di tengah penerapan kurikulum yang mendadak dan terkesan dipaksakan, di tengah silang sengkarut koordinasi kedinasan, di tengah simpang siur dokumen dan panduan yang membingungkan, dan satu hal yang pasti, di tengah proses evaluasi dan revisi, “antusiasme” sekolah menerapkan K-13 menyisakan benang mbulet.

Setelah dilantik oleh Presiden Jokowi, pada akhir 2014 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 60 tahun 2014, menata kembali penerapan K-13 di sekolah. Terdapat iklim pendidikan yang tidak sehat manakala sekolah beramai-ramai menerapkan kurikulum yang masih harus melalui proses revisi dan evaluasi.

Dalam surat edaran itu dinyatakan sekolah yang sudah menerapkan K-13 selama tiga semester diminta tetap melanjutkannya. Sedangkan sekolah yang baru menerapkan K-13 pada semester ganjil (Juli – Desember 2014) pada semester genap (Januari – Juni 2015) diminta untuk kembali ke KTSP 2006.

Tak urung surat edaran yang dikeluarkan Anies menuai komentar dari M. Nuh. Menerapkan kembali KTSP merupakan langgah mundur karena secara subtansi K-13 tidak ada masalah. Untuk meredam suasana, Anies menyatakan tidak ada pergantian kurikulum lagi. Pemerintah akan menerapkan K-13 secara bertahap. Dari 3 % sekolah yang sudah menerapkan K-13 itu Anies meyakini persentasenya akan terus bertambah pada tahun mendatang.

Kembali Anies menegaskan bahwa penerapan K-13 secara bertahap itu bukan untuk kembali mengganti kurikulum. Apalagi memperbaki kualitas pendidikan di Indonesia tidak selalu harus dengan memperbaiki kurikulum. Penerapan secara bertahap itu merupakan salah satu cara.

Esensi Pendidikan yang Terabaikan

Dinamika implementasi K-13 sejak ditetapkan oleh M. Nuh sampai sekarang dan kabarnya telah mengalami revisi final menunjukkan “kapal tanker” pendidikan nasional masih terombang-ambing di tengah lautan ketidakpastian.

Reformasi pendidikan masih sebatas administrasi pendidikan seperti rancang bangun kurikulum, standar kompetensi guru, penilaian siswa, ujian nasional, atau sejenisnya.

Apabila mencermati reformasi pendidikan di beberapa negara, akan kita menemukan persamaan yakni mengembalikan esensi pendidikan pada orbitnya. Pemerintah Cina mencanangkan Reformasi Evaluasi Hijau. Sepuluh aturan untuk mengurangi beban akademik diluncurkan. Pengajaran dimulai dari “titik nol” tanpa beban ekspektasi akademik yang tinggi.

Di Korea Selatan pemerintah secara tegas melarang bimbingan belajar beroperasi di atas jam sepuluh malam. Larangan ini untuk mengurangi ketergantungan siswa pada tes masuk perguruan tinggi. Universitas didorong untuk menerima mahasiswa baru tidak hanya berdasar College Scholastic Aptitude Test (CSAT).

Pemerintah Inggris mereformasi pendidikannya melalui penerapan kurikulum baru. Perubahan akan ada kurikulum baru diumumkan pada 2010. Penyusunan dan uji publik dilakukan selama dua tahun. Pada 2013 kurikulum baru diuji penerapannya. Mulai 2014 diterapkan secara bertahap sampai 2017.

Dan sempat mewarnai “demam pendidikan” di kalangan aktivis, pemerhati, dan akademisi pendidikan di Indonesia adalah reformasi di Finlandia. Wisata edukasi ke Finlandia mendadak ramai diselenggarakan. Kita benar-benar terpukau oleh kesuksesan Finlandia, yang menurut Anis Baswedan sungguh ironis karena kita semakin terasing oleh pemikiran para peletak dasar pendidikan kita sendiri.

Pertanyaannya adalah bagaimana reformasi pendidikan di Indonesia dilangsungkan? Ketua Dewan  Pendidikan Jatim, Prof. Zainudin Maliki menyatakan, diantara problematikan pendidikan nasional yang perlu segera diatasi adalah Ujian Nasional dan ambiguitas kurikulum. Zainudin berpesan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayan, Muhadjir Effendy, agar mengakhiri dualisme kurikulum, yakni KTSP 2006 dan K-13.

Mata pelajaran tidak perlu terlalu banyak, saran Zainudin, supaya guru memiliki waktu yang mencukupi untuk menerapkan strategi pembelajaran deep learning. Jadi guru mengajar siswa bukan sekadar learning to know (belajar untuk tahu).

Seperti bisa diduga sebelumnya problematika pendidikan di Indonesia akan selalu bermuara (atau dimuarakan) pada kualitas guru. Menurut Muhadjir problem mendasar pendidikan di Indonesia adalah guru. “Jika profesionalisme guru tercapai maka separuh permasalahan pendidikan Indonesia bisa dikatakan selesai,” tegas Muhadjir dalam diwawancarai pwmu.co.

Apapun yang diutarakan menteri pendidikan, pakar, akademisi, praktisi terkait problem pendidikan serta bagaimanapun solusinya, hendaklah tidak mengabaikan esensi pendidikan yang memanusiakan manusia. Sekat dan tembok ambiguitas yang menghalangi mata pandang pendidikan Indonesia menatap cakrawala masa depan harus dibongkar.

Ambiguitas kurikulum dan profesionalisme guru apakah selalu menjadi persoalan klasik di negeri ini? []  

Jagalan 070816

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun