Dinamika implementasi K-13 sejak ditetapkan oleh M. Nuh sampai sekarang dan kabarnya telah mengalami revisi final menunjukkan “kapal tanker” pendidikan nasional masih terombang-ambing di tengah lautan ketidakpastian.
Reformasi pendidikan masih sebatas administrasi pendidikan seperti rancang bangun kurikulum, standar kompetensi guru, penilaian siswa, ujian nasional, atau sejenisnya.
Apabila mencermati reformasi pendidikan di beberapa negara, akan kita menemukan persamaan yakni mengembalikan esensi pendidikan pada orbitnya. Pemerintah Cina mencanangkan Reformasi Evaluasi Hijau. Sepuluh aturan untuk mengurangi beban akademik diluncurkan. Pengajaran dimulai dari “titik nol” tanpa beban ekspektasi akademik yang tinggi.
Di Korea Selatan pemerintah secara tegas melarang bimbingan belajar beroperasi di atas jam sepuluh malam. Larangan ini untuk mengurangi ketergantungan siswa pada tes masuk perguruan tinggi. Universitas didorong untuk menerima mahasiswa baru tidak hanya berdasar College Scholastic Aptitude Test (CSAT).
Pemerintah Inggris mereformasi pendidikannya melalui penerapan kurikulum baru. Perubahan akan ada kurikulum baru diumumkan pada 2010. Penyusunan dan uji publik dilakukan selama dua tahun. Pada 2013 kurikulum baru diuji penerapannya. Mulai 2014 diterapkan secara bertahap sampai 2017.
Dan sempat mewarnai “demam pendidikan” di kalangan aktivis, pemerhati, dan akademisi pendidikan di Indonesia adalah reformasi di Finlandia. Wisata edukasi ke Finlandia mendadak ramai diselenggarakan. Kita benar-benar terpukau oleh kesuksesan Finlandia, yang menurut Anis Baswedan sungguh ironis karena kita semakin terasing oleh pemikiran para peletak dasar pendidikan kita sendiri.
Pertanyaannya adalah bagaimana reformasi pendidikan di Indonesia dilangsungkan? Ketua Dewan Pendidikan Jatim, Prof. Zainudin Maliki menyatakan, diantara problematikan pendidikan nasional yang perlu segera diatasi adalah Ujian Nasional dan ambiguitas kurikulum. Zainudin berpesan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayan, Muhadjir Effendy, agar mengakhiri dualisme kurikulum, yakni KTSP 2006 dan K-13.
Mata pelajaran tidak perlu terlalu banyak, saran Zainudin, supaya guru memiliki waktu yang mencukupi untuk menerapkan strategi pembelajaran deep learning. Jadi guru mengajar siswa bukan sekadar learning to know (belajar untuk tahu).
Seperti bisa diduga sebelumnya problematika pendidikan di Indonesia akan selalu bermuara (atau dimuarakan) pada kualitas guru. Menurut Muhadjir problem mendasar pendidikan di Indonesia adalah guru. “Jika profesionalisme guru tercapai maka separuh permasalahan pendidikan Indonesia bisa dikatakan selesai,” tegas Muhadjir dalam diwawancarai pwmu.co.
Apapun yang diutarakan menteri pendidikan, pakar, akademisi, praktisi terkait problem pendidikan serta bagaimanapun solusinya, hendaklah tidak mengabaikan esensi pendidikan yang memanusiakan manusia. Sekat dan tembok ambiguitas yang menghalangi mata pandang pendidikan Indonesia menatap cakrawala masa depan harus dibongkar.
Ambiguitas kurikulum dan profesionalisme guru apakah selalu menjadi persoalan klasik di negeri ini? []