Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kurikulum Tiga Menteri, Sebuah Ambiguitas?

7 Agustus 2016   00:41 Diperbarui: 7 Agustus 2016   07:41 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya. Kurikulum 2013 (K-13), kurikulum yang dalam waktu cukup singkat mengalami pergantian tiga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dimulai dari M. Nuh, Anies Baswedan, dan kini, Muhadjir Effendy.

Keputusan yang mengejutkan banyak pihak, K-13 hadir menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006. Waktu itu M. Nuh merasa sangat yakin bahwa K-13 dapat memecahkan masalah pendidikan di Indonesia.

Menyikapi pro dan kontra penerapan K-13 yang terkesan mendadak itu, M Nuh menyatakan, pihak yang menolak itu bukan pemain inti dalam pendidikan nasional. “Yang ramai nolak itu yang enggak punya sekolahan dan bukan pengelola sekolahan," tegas M. Nuh.

Sadar dengan keterbatasan sekolah, pemerintah memutuskan pada tahun pelajaran 2013/2014, pada pertengahan 2013, K-13 diterapkan secara terbatas pada sekolah perintis, yaitu pada kelas I dan IV untuk tingkat Sekolah Dasar, kelas VII untuk SMP, dan kelas X untuk SMA.  

Sekolah yang mengimplementasikan K-13 pada awalnya berjumlah 6.221 sekolah dan akan dievaluasi kinerjanya, tiba-tiba menyeret sekolah lain. Dalam waktu cukup singkat tidak kurang 211.799 sekolah beramai-ramai menerapkan K-13.

Ibarat mobil yang belum lulus uji kelayakan, K-13 menjadi kendaraan yang ditumpangi sangat banyak sekolah, guru, dan siswa. Di tengah pro dan kontra, di tengah penerapan kurikulum yang mendadak dan terkesan dipaksakan, di tengah silang sengkarut koordinasi kedinasan, di tengah simpang siur dokumen dan panduan yang membingungkan, dan satu hal yang pasti, di tengah proses evaluasi dan revisi, “antusiasme” sekolah menerapkan K-13 menyisakan benang mbulet.

Setelah dilantik oleh Presiden Jokowi, pada akhir 2014 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 60 tahun 2014, menata kembali penerapan K-13 di sekolah. Terdapat iklim pendidikan yang tidak sehat manakala sekolah beramai-ramai menerapkan kurikulum yang masih harus melalui proses revisi dan evaluasi.

Dalam surat edaran itu dinyatakan sekolah yang sudah menerapkan K-13 selama tiga semester diminta tetap melanjutkannya. Sedangkan sekolah yang baru menerapkan K-13 pada semester ganjil (Juli – Desember 2014) pada semester genap (Januari – Juni 2015) diminta untuk kembali ke KTSP 2006.

Tak urung surat edaran yang dikeluarkan Anies menuai komentar dari M. Nuh. Menerapkan kembali KTSP merupakan langgah mundur karena secara subtansi K-13 tidak ada masalah. Untuk meredam suasana, Anies menyatakan tidak ada pergantian kurikulum lagi. Pemerintah akan menerapkan K-13 secara bertahap. Dari 3 % sekolah yang sudah menerapkan K-13 itu Anies meyakini persentasenya akan terus bertambah pada tahun mendatang.

Kembali Anies menegaskan bahwa penerapan K-13 secara bertahap itu bukan untuk kembali mengganti kurikulum. Apalagi memperbaki kualitas pendidikan di Indonesia tidak selalu harus dengan memperbaiki kurikulum. Penerapan secara bertahap itu merupakan salah satu cara.

Esensi Pendidikan yang Terabaikan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun