Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Paradigma Pendidikan “Berdaya Saing” yang Hilang Keseimbangan

3 Agustus 2016   12:44 Diperbarui: 3 Agustus 2016   12:51 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Praktek mikro-makro pembelajaran di sekolah benar-benar mengajak siswa menjadi pelari sprint. Garis finisnya adalah target prestasi yang dipasang, baik oleh sekolah, lantas diamini secara diam-diam oleh ambisi orangtua.

Apa akibatnya? Mari kita tengok fakta kehidupan siswa. Kekerasan fisik dalam lingkungan sekolah menjadi berita yang mengoyak nurani. Pelakunya justru pihak yang selama ini memikul tanggung jawab moral sebagai orang yang digugu dan ditiru. Kejahatan di luar tembok sekolah terasa sebagai “kewajaran” yang dilakukan oleh generasi penanggung stres. Kejahatan seksual oleh dan terhadap siswa mengintai setiap pelajar hingga di tingkat pendidikan dasar.

Memang terdapat berbagai faktor yang memicu semua tindak kejahatan itu. Namun, hal itu bukan berarti dehumanisasi pendidikan bukan perkara serius yang mengancam siswa. Paradigma pendidikan “berdaya saing” yang hilang keseimbangan tak ubahnya menyiapkan generasi predator yang siap memangsa dan melumat apa saja—asal pertarungan bisa dimenangkan.

Seorang kawan pernah bercerita dengan penuh percaya diri. Putranya “berhasil” mengikuti lomba mewarna taman kanak-kanak. Hanya mengikuti lomba mewarna dibilang berhasil? Kawan saya menjelaskan, ia berhasil meyakinkan putranya yang selama ini kurang percaya diri mengikuti lomba apapun. “Perkara jadi juara atau tidak, itu bukan target kami,” ungkap sang kawan.

Sikap yang menarik bukan? Kawan saya memandang lomba atau pertandingan yang diikuti anak adalah sarana mendidik, bukan sarana untuk meraih kemenangan semata, apalagi targetnya sekadar memupuk rasa percaya diri sang anak. Begitu anaknya yakin dan mantab mengikuti lomba mewarna, sang anak sedang dan telah menjadi juara. Anak berhasil mengalahkan “ketakutan” dan rasa kurang percaya dirinya. Benih citra diri dan sikap positif yang tidak kalah bermakna dibanding dengan keberhasilan meraih juara satu, telah tertanam di ladang pengalaman hidupnya.

Paradigma pendidikan “berdaya saing” sudah waktunya dirubah menjadi pendidikan “mandiri” dan “berkepribadian” sebab yang dididik adalah anak manusia—bukan mesin mekanik. []

Jagalan 030816

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun