Pagi itu saya bertemu seratus limapuluh siswa SMK. Di hadapan saya anak-anak muda, wajah-wajah penghuni masa depan, sorot mata tajam menyambut sapaan salam saya dengan antusias. Teringat saya dengan gelora Bung Besar, Soekarno, tentang anak muda yang kalimatnya sering dipinjam dalam kampanye politik untuk merebut simpati penghuni garda depan itu.
Siswa SMK itu hendak mengikuti praktek kerja industri (prakerin) dan saya diminta menyampaikan satu dua motivasi, yang semoga meneguhkan semangat belajar mereka. Berhubung saya bukan motivator, tugas itu menjadi kesulitan tersendiri bagi saya. Ditambah oleh pikiran saya yang suka rewel terhadap sistem dan model pembelajaran di sekolah, rintangan yang saya hadapi saat mempersiapkan materi makin bertambah-tambah.
Setelah saya mencermati perasaan yang berkecamuk dalam “dunia dalam” saya sendiri, sebenarnya saya memiliki gairah positif ketika berhadapan dengan para siswa, juga anak-anak SMK itu, karena mereka sama dengan saya, sama-sama sebagai manusia, yang memiliki perasaan dan pikiran, memiliki harapan dan cita-cita masa depan, memiliki kesedihan dan kebahagiaan, memiliki kecemasan dan keyakinan.
Perasaan dan gairah positif ini memantik inspirasi bahwa kita seringkali dikendalikan oleh atmosfer perasaan. Inspirasi ini diperkuat oleh Erbe Sentanu yang menyatakan ketika terjadi konflik antara pikiran dan perasaan, hatilah yang menang. Apakah sedang terjadi konflik dalam diri saya? Jawabnya, ya. Konflik antara gairah positif dalam perasaan “melawan” pikiran yang suka rewel terhadap sekolah.
Siapa pemenang dari konflik itu? Tentu saja pemenangnya adalah hati, perasaan dan gairah positif saat bertemu dengan anak-anak dan para siswa sekolah. Bagaimana hati saya tidak memenangkan konflik itu—ia memiliki kekuatan 88% dalam diri, sedangkan kekuatan pikiran 12 %. Perasaan lebih dominan memenangi pertarungan itu.
Apa saya mengabaikan atau menindas atau bahkan membunuh 12 % kekuatan pikiran itu? Pasti jawabnya tidak, karena perasaan dan pikiran diciptakan Tuhan sebagai makhluk berpasangan. Mustahil saya melenyapkan pikiran saya sendiri walaupun kekuatannya “hanya” 12 %. Komposisi sunnatullah itu tidak untuk saling meniadakan, sebagaimana mustahil melenyapkan siang untuk melanggengkan malam.
Di depan siswa SMK saya mengadakan simulasi sederhana untuk memetakan pengaruh perasaan dan pikiran. Saya minta salah seorang siswa menjawab pertanyaan yang sangat mudah: menghitung penjumlahan siswa sekolah dasar, yaitu 2+2; 3+1; 5+4; 6+4
Siswa tersebut menjawabnya seakan tanpa berpikir lagi, saking gampangnya menghitung penjumlahan itu. Lalu tantangan saya tingkatkan lagi.
“Pertanyaannya sama, menghitung penjumlahan tingkat sekolah dasar,” kata saya, “Tapi, soal itu dikerjakan nanti malam, pukul satu dini hari, di kamar mayat dengan ditemani korban meninggal kecelakaan lalu lintas. Bagaimana?”
Spontan ruangan menjadi riuh.
“Ndak mau, Pak!”
“Uji nyali itu, Pak!”
“Tiba-tiba mayatnya membuka mata lalu bertanya, ‘Ngapain kamu disini?’. Sereeeem…” canda siswa lainnya.
“Kenapa tidak mau, takut?” tanya saya.
“Ya iyalaaah, Pak.”
“Kalau mengerjakannya beramai-ramai bagaimana?”
“Beraniiii…!”
Pelan-pelan saya mengajak mereka diskusi untuk memilah dan memilih mana perasaan mana pikiran. Tidak terlalu sulit bagi mereka menemukan kesimpulan bahwa menghitung penjumlahan itu pekerjaan akal sedangkan merasa takut itu pekerjaan hati.
Pemahaman kunci sudah didapat. Salah seorang siswa maju ke depan menyampaikan hasil temuannya.
“Mengerjakan soal hitungan siswa sekolah dasar memang mudah. Tapi akan menjadi sangat sulit bukan karena kita tidak bisa mengerjakannya, melainkan karena perasaan kita sedang dicekam ketakutan. Kesimpulannya perasaan akan mempengaruhi kerja pikiran. Perasaan yang galau, cemas, stres, takut dapat melumpuhkan pikiran.”
Luar biasa. Seisi ruangan bertepuk tangan memberikan applaus. Mereka adalah generasi millenial, anak-anak yang dibesarkan oleh kepengasuhan langit, daya abstraksinya menyalip golongan tua, anak-anak yang sangat IT-addict, etos membangun jaringan sangat kuat, jarang yang bercita-cita menjadi pegawai negeri apalagi petani.
Siang itu tugas saya menjadi lebih ringan. Setelah kunci ditemukan, mereka akan membuka “pintu-pintu” perasaan dan pikiran mereka sendiri. Bukan terutama untuk hari ini tapi untuk sepanjang hari-hari mereka menjalani hidup, kelak di masa depan.
Salah satu kunci itu—sesuai kesimpulan yang mereka temukan—adalah pentingnya memiliki perasaan positif (positive feeling). Mengapa bukan pikiran positif (positive thinking)? Memang pikiran positif tetap harus positif setelah terlebih dahulu mempositifkan perasaan.
Fakta yang sering terjadi, pikiran sudah diupayakan positif namun perasaan masih bergetar-getar negatif. Alih-alih merasakan energi positif mengalir dalam kesadaran, justru yang terjadi adalah ketegangan akibat konflik yang dipicu oleh ketidakselarasan.
Secara sederhana tahapan langkahnya adalah memiliki perasaan positif, membangun pikiran positif, lalu menyelaraskannya dalam tindakan. Itulah mengapa sebelum mengerjakan aktivitas kita merasa perlu berdoa agar pertolongan Tuhan menemani langkah kita. Merasa bersama Tuhan dan semata untuk Tuhan merupakan akar perasaan positif yang dalam terminologi agama disebut ikhlas.
Menyelaraskan hati dan akal, perasaan dan pikiran, dalam tata kelola yang adil dan seimbang dalam sebuah tindakan nyata merupakan “jihad akbar”, pertempuran besar yang berlangsung terus menerus dalam diri. Keseimbangan yang tidak boleh condong, miring, rubuh oleh banjir bandang materialisme, industrialisme, pragmatisme, agar jiwa kemanusiaan kita tidak ketlingsut di lipatan zaman.
Akhirnya, saya ucapkan terima kasih kepada para siswa SMK. Dari mereka saya kembali belajar tentang perasaan dan pikiran positif, menyelaraskannya dalam tindakan yang dihidupi oleh keikhlasan. []
Jagalan 20816
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H