Setelah menerima kabar mengejutkan, Anis Baswedan diganti Muhadjir Effendy, beberapa kawan berseloroh ringan.
“Tak perlu pusing mikirin 15 menit membaca sebelum pelajaran dimulai. Menterinya sudah ganti.”
“Apa kebiasaan 15 menit membaca akan ikut direshuffle?”
“Ndak tahu.”
“Mungkin saja akan diganti,” seorang kawan menyahut, “Tidak ada ‘kewajiban’ bagi menteri yang baru melanjutkan program menteri yang lama.”
“Ganti menteri ganti program, justru itu kewajibannya,” sindir kawan yang lain.
Obrolan cap warung kopi memang mengasyikkan dan cenderung menghanyutkan. Kita menikmati tema pembicaraan yang mengalir gayeng. Transisi dari satu tema ke tema berikutnya tidak memerlukan jeda, brain-gym, atau pemberitahuan resmi dari pembawa acara. Mengalun saja secara santai dan natural.
Suasana obrolan yang cair kerap memancing inspirasi, ide, gagasan, bahkan solusi. Ide tulisan ini datang tiba-tiba, nyelonong di benak saya ketika hanyut menyimak obrolan kawan-kawan itu. Saya tiba-tiba teringat ungkapan “berita buruk” pendidikan yang dilontarkan Mas (mantan) Menteri, Anies Baswedan.
Berita buruk yang bisa saya lacak datanya, diantaranya 75% sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan (Pemetaan oleh Kemdikbud terhadap 40.000 sekolah pada tahun 2012). Posisi ke-40 dari 40 negara pada pemetaan The Learning Curve – Person (Hasil pemetaan akses dan mutu pendidikan pada tahun 2013 dan 2014). Peringkat ke-40 dari 42 negara pada pemetaan TIMSS bidang literasi sains (Pemetaan Trends in International Mathematics and Science Studies tahun 2011). 0,001 minat baca orang Indonesia menurut UNESCO pada 2012 (Hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang punya minat baca serius).
Fakta dan data berita buruk itu akhirnya menjadi pijakan untuk menyatakan “Pendidikan Indonesia gawat darurat.”
Walaupun menteri pendidikan dan kebudayaan telah diganti, terus berganti, dan akan selalu berganti satu “wejangan” dari Pak Anies yang patut diingat adalah “Mengubah pendidikan itu seperti mengubah arah kapal tanker, bukan seperti mengubah arah speed boat…”
Dua puluh bulan menjadi nahkoda kapal tanker pasti bukan waktu yang ideal untuk mengubah arah. Visi misi yang dicanangkan, nawacita pemerintah yang terkait dengan pendidikan, gerakan pendidikan yang digelorakan, baru menggeser sekian derajat arah kapal tanker. Apakah pergeseran arah tanker akan terus berlanjut ataukah dirubah lagi arah ordinatnya, publik menunggu kerja pendidikan menteri yang baru.
Oleh karena itu menengok kembali program dan arah kebijakan menteri pendidikan yang lama akan menolong kita untuk mencermati kinerja menteri yang baru. Kita tentu berharap selain terjadi penyempurnaan program dan kinerja, program-program “lama” yang memang ampuh tetap dijalankan untuk mengobati penyakit pendidikan. Harapannya, agar tidak terjadi tumpang tindih “dosis” yang justru membuat “virus berita buruk” semakin menyempurnakan imunitasnya.
Berikut ini Tujuh Jalan Revolusi Mental Pendidikan yang dicanangkan Anies Baswedan:
- Mengubah paradigma pendidikan “berdaya saing” menjadi pendidikan “mandiri dan berkepribadian”
- Merancang kurikulum berbasis karakter dari kearifan lokal serta vokasi yang beragam berdasarkan kebutuhan geografis daerah dan bakat anak
- Menciptakan proses belajar yang menumbuhkan kemauan belajar dari dalam diri anak
- Memberi kepercayaan penuh pada guru untuk mengelola suasana dan proses belajar pada anak
- Memberdayakan orangtua untuk terlibat pada proses tumbuh kembang anak
- Membantu kepala sekolah untuk menjadi pemimpin yang melayani warga sekolah
- Menyederhanakan birokrasi dan regulasi pendidikan diimbangi pendampingan dan pengawasan (Disampaikan dalam Silaturahim Kementerian dengan Kepala Dinas Jakarta, 1 Desember 2014)
Aroma humanisme pendidikan terasa cukup kental tercium pada tujuh jalan revolusi mental di atas. Anies sedang menghidupkan kembali pendidikan dari manusia untuk manusia oleh manusia. Pintu keterlibatan publik juga dibuka lebar. Hal itu tercermin dari tujuh elemen ekosistem pendidikan, yaitu sekolah kondusif, guru penyemangat, orangtua terlibat, warga peduli, industri suportif, organisasi profesi suportif, pemerintah suportif.
Mengapa semua itu saya sampaikan? Seorang kawan meledek saya, “Mbok sudah, move on saja.” Saya pikir ini bukan soal legowo atau tidak. Kenal orangnya pun tidak. Saya merasa Pak Anies telah berjalan di rel yang tepat—rel khas pendidikan Indonesia dengan segala berita buruk, problematika, dan tentu saja keunggulan dan potensinya. Beberapa kalangan mengakui Anies Baswedan tengah membenahi bagian fundamental pendidikan.
Terlepas apa kepentingan di baliknya, penggantian itu tidak ideal. Mereformasi pendidikan dasar sampai menengah yang didominasi oleh berita buruk pasti membutuhkan waktu yang lama dan kesinambungan visi-misi, konsep, dan rencana pencapaian jangka panjang.
“Mengganti seorang menteri yangon track menjalankan pembaharuan dalam bidang pendidikan selama 20 bulan beresiko akan mencederai pendidikan nasional secara luas, dan bisa menjadi indikasi bahwa sektor pendidikan bukanlah prioritas penting dan strategis Kabinet Kerja, apalagi bila ini dilakukan dalam kepentingan politik praktis,” ungkap Augustinus Widyaputranto dalam Pendidikan Nasional: Anak Tiri Revolusi Mental.
“Berita buruk” dari Pak Anies tidak boleh diabaikan agar pendidikan tidak digerus oleh logika politik (praktis)—walaupun kenyataannya ada yang berpendapat demikian—tidak dikebiri oleh dominasi analisa pasar yang menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan bisinis dan industri.[]
Jagalan 290716
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H