Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anies Diganti, Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia Telah Lewat?

28 Juli 2016   06:36 Diperbarui: 28 Juli 2016   13:44 3560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya akan berusaha menghindari “mata politik” dan “jalan politik” untuk sedikit saja ikut merasakan keheranan, kegundahan, kegelisahan, dan pasti juga kekagetan banyak kalangan atas digantinya Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan.

Jujur, perasaan saya tergetar saat membaca surat “perpisahan” Mas Menteri yang ditujukan kepada Ibu/Bapak Guru, Kepala Sekolah, dan Tenaga Kependidikan. Anies menyebut Ibu/Bapak Guru. Rasa bahasa kita umumnya terbiasa menyatakan Bapak/Ibu Guru. Cukup lama saya berhenti di sini. Pikiran bergerak ke mana-mana. Bukan sekadar kita menghormati ibu, ibu, ibu, baru bapak. Bukan sekadar surga berada di bawah telapak kaki ibu. Bukan sekadar ibu adalah jimat hidup kita.

Dalam konteks pendidikan ibu adalah rahim itu sendiri. Pendidikan merupakan rahim yang sedang mengandung anak bangsa, kelak akan dilahirkan sebagai penghuni dan pejuang masa depan. Adakah ruang di dunia melebihi keindahan, kenyamanan, keamanan, ketenteraman, bahkan kehidupan itu sendiri melebihi rahim ibu?

Gerakan pendidikan yang digelorakan Anies adalah menjadikan sekolah sebagai taman—pemadatan simbol sekaligus hadirnya “lingkungan” sebuah rahim dengan karakter nalurinya yang khas. Pendidikan menjadi identik dengan kepengasuhan, naluri utama cinta seorang ibu kepada anaknya. Kira-kira itulah tadabur, othak-athik-gathuk saya atas penyebutan Kepada Ibu/Bapak Guru.

Anies memang rajin mendatangi pelosok dan sudut-sudut darurat negeri Nusantara, bertemu dan bercengkerama bersama ribuan guru. Kehadirannya di tengah kondisi darurat pendidikan justru semakin membuka mata hatinya akan realitas yang kerap juga dirasakan oleh para pengabdi pendidikan, terutama di pojok tersulit negeri ini.

“Saya menemukan mutiara-mutiara berkilauan di sudut-sudut tersulit Republik ini,” tulisnya. “Dinding kelas bisa reot dan rapuh, tapi semangat guru, siswa dan orangtua tegak kokoh. Dalam berbagai kesederhanaan fasilitas, sebuah PR besar Pemerintah, saya melihat gelora keceriaan belajar yang luar biasa.” (Kompas.com)

Tidak sulit bagi kita yang terbiasa bergelut dengan tantangan pemberdayaan pendidikan di pelosok-pelosok dusun menangkap getaran empati, semangat dan optimisme yang ditularkan Mas Menteri. Pikiran saya seketika sudah berada di Dusun Bajulmati; bertatapan dengan wajah-wajah letih kawan pengabdi yang sorot matanya masih terus menyala; berdiri di halaman Taman Kanak-Kanak yang bangunannya bertaraf di bawah ala kadarnya; melihat kaki-kaki mungil bocah dusun, tanpa sepatu, menapaki tanah berbatu berangkat ke sekolah; berbagi senyum dengan ibu-ibu wali siswa yang setia menunggu dan sesekali bergantian menggendong bayi Ibu Guru…

Anies Baswedan jujur menatap realitas: Indonesia sedang gawat darurat pendidikan. Di tengah situasi serba darurat itu ia menularkan optimisme: semangat guru, siswa dan orangtua tegak kokoh.

Membuka mata dan membangun kesadaran bersama bahwa Indonesia sedang gawat darurat pendidikan terlebih dahulu ditujukan ke dalam birokrasi pendidikan. Menurut Anies, masalah-masalah pendidikan dianggap kelaziman oleh birokrasi pendidikan. Adanya masalah dianggap seperti tidak adanya masalah. Apalagi tidak ada masalah pasti dianggap sangat-sangat tidak ada masalah.

Anies cukup tegas menyatakan birokrasi tidak boleh pura-pura tidak tahu atau mengetahui tapi dengan cara pandang bahwa masalah pendidikan itu sebuah kelaziman. “Potret buruk pendidikan hari ini, apapun sebabnya adalah tanggung jawab kita di birokrasi pendidikan,” ungkapnya.

Anies terlalu berani mengajak jajaran birokrasi pendidikan untuk memikul tanggung jawab buruknya potret pendidikan Indonesia. Keberanian yang tidak lazim di kalangan para birokrat yang gemar cuci tangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun