Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membayar Mahal Sekolah “Mie Rasa Ayam Bawang”

27 Juli 2016   10:05 Diperbarui: 27 Juli 2016   17:04 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu saya menghadiri pertemuan orangtua siswa baru. Di awal tahun pelajaran memang lazim diadakan pertemuan antara sekolah yang diwakili oleh kepala sekolah dan pengurus komite dengan para orangtua. Kepala sekolah memaparkan budaya belajar di sekolah, ketua komite menyampaikan kebutuhan dana untuk pengembangan pendidikan.

Ruang pertemuan mulai ramai oleh usulan orangtua ketika ketua komite menyampaikan kebutuhan sekolah beserta besaran rupiahnya. Bisa ditebak. Ujung-ujungnya “beban” pendanaan itu dimohonkan dengan ikhlas agar orangtua turut menanggungnya. 

Suasana pertemuan yang cair itu menjadi ajang adu argumen dan pendapat. Pasalnya, dari jumlah total dana yang dibutuhkan lalu dibagi jumlah orangtua siswa baru, setelah dikurangi jumlah keluarga kurang beruntung, menampilkan jumlah rupiah yang relatif terlalu besar menurut mereka yang hadir.

Terjadilah “tawar menawar” harga antara ketua komite sekolah dengan orangtua. Ketua komite akhirnya “mengalah” bukan karena benar-benar kalah atau menyerah. Disepakati jumlah minimal iuran pendidikan yang akan dibayar, meskipun bagi orangtua yang hendak membayar lebih tetap diberi kesempatan.

Keberatan membayar dalam jumlah yang relatif besar adalah fakta yang disuarakan oleh mayoritas orangtua. Sekolah tidak bersikukuh dengan besaran iuran pendidikan. Adapun orangtua yang ingin “bersedekah” tetap terbuka peluang tanpa memengaruhi status siswa lainnya yang telah diterima di sekolah itu.

Alhasil, komite dan orangtua menyepakati iuran pendidikan yang terjangkau oleh sebagian besar orangtua siswa baru.

Di awal tahun pelajaran baru, orangtua perlu bersikap kritis untuk menyikapi aneka pungutan dari sekolah. Tidak sedikit sekolah meminta pungutan dalam jumlah yang sangat besar. Sekolah swasta yang bermerek mahal tidak segan-segan mematok pungutan dengan harga tinggi. Sedangkan orangtua siswa baru terbawa obsesi bahwa sekolah mahal itu akan membuahkan hasil pendidikan yang maksimal. Siapa bilang!

Mereka sanggup membayar berapa pun demi menebus obsesi yang ternyata tidak selalu berkaitan dengan cita-cita pendidikan. Menjaga status sosial sebagai keluarga yang hidup berkelimpahan dipelihara pencitraannya dengan menyekolahkan anak di sekolah mahal.

“Banyak sekolah swasta menarik pungutan sangat tinggi, padahal mutu yang diberikannya tidak sepadan dengan uang yang telah dikeluarkan oleh orangtua murid. Mereka tidak tahu kalau mereka dirugikan dan pemerintah tampaknya tidak terlalu memperhatikan masalah ini,” ungkap Hendri Febri AA dalam Pungutan Berkedok Sumbangan.

Tak ayal, bisnis pendidikan memang menggiurkan. Motif komersial dalam penyelenggaraan pendidikan di beberapa sekolah swasta lebih mendominasi daripada pandangan dan pertimbangan filosofi edukasi. Penampilan sekolah yang kasat mata, fasilitas, gedung megah, ruang ber-AC, lip service program pendidikan, taman yang mewah sengaja dihadirkan tanpa diikuti oleh penerapan sistem manajemen sekolah efektif.

Sekolah Mie Rasa Ayam Bawang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun