Lenger-lenger. Tercenung cukup lama saya setelah membaca kisah, sebut saja namanya Udin. Seorang kawan menulis kisah Udin, bocah berusia delapan tahun, mendekam di penjara. Udin terdakawa pembunuhan seorang preman yang menghabisi nyawa bapaknya.
Latar belakang sekolah menunjukkan Udin anak cerdas. Sebelum masuk penjara Udin ternyata juara kelas, memenangi lomba menggambar, jago bermain suling, pintar mengaji dan adzan. Selama sekolah di penjara nilai berhitung Udin cukup tinggi. Anak secerdas itu mengapa tiba-tiba dicampakkan dalam lingkungan yang keras, seakan memberikan pukulan balik bagi potensinya yang luar biasa itu?
Hidup memang keras. Sekeras sikap Bapak Udin yang tidak mau membayar uang “keamanan” kepada preman pasar. Preman menghabisi nyawa bapak Udin. Mati. Kabar kematian bapaknya di tangan preman pasar sampai ke telinga Udin. Esok hari setelah menguburkan bapaknya, Udin mendatangi tempat mangkal preman. Dengan pisau dapur di genggaman tangan, Udin menantang preman pasar berkelahi.
Bocah usia tujuh tahun menantang preman pasar berkelahi!
“Siapa yang membunuh Bapak saya?” teriak Udin kepada orang-orang di tempat itu.
“Gue yang membunuh Bapak lo. Mau apa!” balas preman pasar.
Tanpa banyak bicara, dengan satu gerakan pasti, pisau dapur ditusukkan ke perut preman. Tepat mengenai ulu hati. Preman jatuh tersungkur. Udin lari pulang.
Sampai disini saya hentikan membaca kisah Udin. Pikiran dan perasaan saya teraduk berkecamuk antara percaya dan tidak, antara kasihan dan geram, antara iba dan marah. Getaran kecamuk seperti apa yang membimbing Udin sehingga tangannya sigap mengambil pisau dapur, kakinya mantab melangkah menemui preman pasar, nyalinya teguh menghadang ombak samudera bergulung-gulung mengirimkan ketakutan dan semua itu tidak membuatnya surut untuk meneriakkan tantangan yang bahkan Satpol PP atau aparat kepolisian yang dilatih untuk mengatasi situasi krusial mengancam nyawa belum tentu berani melakukannya?
Lalu tangan mungil yang belum cukup kuat untuk memukul roboh preman tiba-tiba, sangat tiba-tiba, dan cukup tiba-tiba saja, menusuk perut preman dengan pisau dapur?
Pertanyaan berikutnya saya tujukan untuk diri sendiri. Mengapa saya membaca kisah “keberanian” Udin tepat di Hari Anak Nasional? Sudah demikian mencekamkah nasih hidup anak-anak kita di tengah teror yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata?
Menyaksikan anak-anak lain begembira di taman hiburan bersama orangtuanya, apakah sorot mata anak-anak itu memang sedang mencerminkan suasana hati bahagia?
Adakah satu sudut ruangan saja di muka bumi yang benar-benar menghadirkan keamanan, kenyamanan, kegembiraan untuk anak-anak?
Kepala Lapas menuturkan Udin sering membuat repot petugas. Sejak dua tahun lalu dpenjara, Udin “sukses” tiga kali melarikan diri dari penjara. Cara yang dipakai pun tergolong ajaib untuk ukuran kemampuan bocah usia delapan tahun.
Pertama kali melarikan diri dari penjara Udin “bekerja sama” dengan kebiasaan mobil pengangkut sampah. Setiap pagi mobil itu mengangkut sampah dari penjara. Udin menyelinap masuk ke dalam salah satu kantong sampah. Ia pun terangkut keluar.
Udin termasuk anak yang doyan membaca. Kegemaran membaca memberinya “ide” untuk melarikan diri yang kedua kali. Udin pernah membaca tentang fermentasi pembuatan tape. Ia memperoleh informasi bahwa tape mengandung udara panas yang dapat merusak benda keras. Lapas anak menyediakan makanan tape seminggu dua kali. Udin tidak memakan tape jatahnya. Dikumpulkannya tape-tape itu lalu dibalurkannya ke tembok. Empat bulan tembok sel tahanan menjadi gembuk seperti tanah liat. Dengan cukup mudah Udin membuat lubang tembok dari “tanah liat” itu.
Pelarian ketiga menurut penjaga lapas dikerjakan Udin layaknya Mission Imposible. Ketika piket membersihkan kamar mandi Udin memanfaatkan gagang timba sebagai alat untuk meloloskan diri. Tidak ada tempat paling aman menyimpan gagang timba selain di kantor Kepala Lapas. Pasalnya tidak ada petugas lapas berani memasuki kantor tanpa seijin Kepala Lapas. Entah bagaimana caranya Udin membobol gembok dan pintu dengan besi gagang timba. Tahu-tahu ia sudah berada di luar penjara.
Berhasil melarikan diri sebanyak tiga kali bagaimana ia ditangkap kembali? Udin harus berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer, kadang nunut angkot, agar bisa tiba di rumahnya. Anak ini melarikan diri untuk menjumpai ibunya di rumah. Pelariannya didorong rasa kangen pada ibunya. Saat di luar penjara Udin tidak ditangkap. Ia kembali ke penjara dengan sendirinya. Pada pelarian yang ketiga Kepala Lapas, kebetulan seorang ibu, melarang petugas untuk menjemput Udin.
Dua hari kemudian Udin sudah kembali lagi ke lapas. Tiba kembali di penjara Udin menyerahkan surat yang ditulisnya kepada Ibu Kepala Lapas. “Ibu Kepala, Udin mohon maaf. Tapi Udin kangen sama Ibu Udin,” tulisnya singkat.
Bocah cerdas dengan sifat manusiawinya yang begitu tulus dan polos, tiba-tiba, sangat tiba-tiba, dan cukup tiba-tiba saja, terkoyak oleh dorongan kelam yang tidak bisa dipahaminya. Fakta bahwa ia menghunus pisau dapur dan menghilangkan nyawa seorang preman tidak bisa dipungkiri. Bukan untuk memutar waktu, andai pihak berwajib segera menangani pembunuhan bapaknya dan menangkap pelakunya, bocah cerdas itu kini tidak perlu hidup dalam petak penjara.
Kehidupan Udin telah diyatimkan oleh preman. Di luar konteks hidup Udin, “preman” itu adalah ancaman, teror, bullying, kejahatan, atau apapun saja yang merampas harkat kemanusiaan seorang anak. Jangan-jangan “preman” itu adalah kita sendiri, para orangtua yang tidak sadar kerap memandang sisi negatif dan kekurangan anak. Sehingga label negatif menjadi sangat mudah kita sematkan pada mereka.
“Setiap anak lahir dengan membawa pesan bahwa Tuhan belumlah bosan dengan manusia,” ungkap Rabindranath Tagore. Tuhan percaya bahwa kita masih pantas dititipi anugerah seorang anak. Di tengah kehidupan yang terlalu mudah menghadirkan ancaman bagi anak, tidak mungkin rasanya kita sia-siakan kepercayaan Tuhan. Jika kelak Tuhan saja sudah tidak percaya, kepada siapa lagi kita berharap?
Selamat Hari Anak Nasional. []
Terinspirasi oleh Lars Fredick Sugandha
Jagalan 230716
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI