Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bocah yang Diyatimkan oleh Preman Pasar

23 Juli 2016   12:45 Diperbarui: 24 Juli 2016   10:52 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lenger-lenger. Tercenung cukup lama saya setelah membaca kisah, sebut saja namanya Udin. Seorang kawan menulis kisah Udin, bocah berusia delapan tahun, mendekam di penjara. Udin terdakawa pembunuhan seorang preman yang menghabisi nyawa bapaknya.

Latar belakang sekolah menunjukkan Udin anak cerdas. Sebelum masuk penjara Udin ternyata juara kelas, memenangi lomba menggambar, jago bermain suling, pintar mengaji dan adzan. Selama sekolah di penjara nilai berhitung Udin cukup tinggi. Anak secerdas itu mengapa tiba-tiba dicampakkan dalam lingkungan yang keras, seakan memberikan pukulan balik bagi potensinya yang luar biasa itu?

Hidup memang keras. Sekeras sikap Bapak Udin yang tidak mau membayar uang “keamanan” kepada preman pasar. Preman menghabisi nyawa bapak Udin. Mati. Kabar kematian bapaknya di tangan preman pasar sampai ke telinga Udin. Esok hari setelah menguburkan bapaknya, Udin mendatangi tempat mangkal preman. Dengan pisau dapur di genggaman tangan, Udin menantang preman pasar berkelahi.

Bocah usia tujuh tahun menantang preman pasar berkelahi!

“Siapa yang membunuh Bapak saya?” teriak Udin kepada orang-orang di tempat itu.

Gue yang membunuh Bapak lo. Mau apa!” balas preman pasar.

Tanpa banyak bicara, dengan satu gerakan pasti, pisau dapur ditusukkan ke perut preman. Tepat mengenai ulu hati. Preman jatuh tersungkur. Udin lari pulang.

Sampai disini saya hentikan membaca kisah Udin. Pikiran dan perasaan saya teraduk berkecamuk antara percaya dan tidak, antara kasihan dan geram, antara iba dan marah. Getaran kecamuk seperti apa yang membimbing Udin sehingga tangannya sigap mengambil pisau dapur, kakinya mantab melangkah menemui preman pasar, nyalinya teguh menghadang ombak samudera bergulung-gulung mengirimkan ketakutan dan semua itu tidak membuatnya surut untuk meneriakkan tantangan yang bahkan Satpol PP atau aparat kepolisian yang dilatih untuk mengatasi situasi krusial mengancam nyawa belum tentu berani melakukannya?

Lalu tangan mungil yang belum cukup kuat untuk memukul roboh preman tiba-tiba, sangat tiba-tiba, dan cukup tiba-tiba saja, menusuk perut preman dengan pisau dapur?

Pertanyaan berikutnya saya tujukan untuk diri sendiri. Mengapa saya membaca kisah “keberanian” Udin tepat di Hari Anak Nasional? Sudah demikian mencekamkah nasih hidup anak-anak kita di tengah teror yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata?

Menyaksikan anak-anak lain begembira di taman hiburan bersama orangtuanya, apakah sorot mata anak-anak itu memang sedang mencerminkan suasana hati bahagia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun