Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan tidak main-main. Beberapa hari lagi, menjelang hari pertama masuk sekolah, Anis sudah mengirim peringatan. Tidak ada lagi perploncoan bagi siswa baru di sekolah. Masyarakat dan orangtua dihimbau agar turut mengawasi kegiatan hari pertama masuk sekolah. Apabila dijumpai perploncoan dan tindak kekerasan di sekolah, masyarakat dan orangtua bisa menghubungi nomor telepon 0811976929 atau 021-59703020. Indentitas pelapor dilindungi. (Kompas.com)
Antara Kebiasaan dan Peraturan
Entah dari mana asalnya, entah siapa pelaku awalnya, entah apa logika dan dasar berpikirnya, tiba-tiba saja perploncoan menjadi menu wajib bagi siswa atau mahasiswa baru. Ritual tahun pelajaran baru itu tidak jarang dilakukan dengan tindak kekerasan, bahkan berakhir dengan kematian.
Menurut Anis, tidak sedikit kepala sekolah melanggengkan perploncoan. Cukup mengejutkan, ternyata kepala sekolah hanya menjalankan kebiasaan yang sudah turun-temurun entah sejak kapan. Sekolah menjadi semacam camp yang dihuni oleh para pesakitan. Hanya ada satu perlakuan bagi para pesakitan itu: disiksa. Mulai disiksa secara fisik, mental, sampai disiksa secara intelektual, misalnya siswa disuruh menghitung butiran garam, merayu tanaman, dan berperilaku layaknya orang gila.
Pantas Anis merasa kecewa. Dia bahkan mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada kepala sekolah yang membiarkan perploncoan dan tindak kekerasan yang terjadi di sekolah. "Sanksi dari mulai teguran sampai dengan pemberhentian. Intinya adalah kami tidak akan menoleransi pelanggaran di fase awal anak belajar,” ujar Anis.
Sulit dibayangkan dan diterima akal, sekolah yang seharusnya membangun tradisi intelektual, memelihara keteguhan moral, menjaga harkat kemanusiaan, berubah menjadi ajang praktek dehumanisasi. Dan, lihatlah, semua itu dijalankan begitu ringan – tanpa merasa perlu melangsungkan pemberontakan terhadapnya – karena telah menjadi kebiasaan.
Perploncoan yang menjadi kebiasaan itu diterima sebagai kelaziman oleh warga sekolah. Kelaziman yang menumbangkan obyektivitas dan kejernihan berpikir. Kelaziman yang menikam rasa kemanusiaan. Sungguh mengkhawatirkan, sekolah sebagai ekosistem pendidikan diam-diam menganggukkan kepala, dehumanisasi yang berlangsung adalah kelaziman.
Saya benar-benar gagal paham. Gagal segagal-gagalnya. Untuk merevolusi kebiasaan yang sudah lazim dan dilazimkan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahkan merasa perlu memberikan warning tentang kegiatan pengenalan sekolah, jauh-jauh hari sebelum siswa baru mulai belajar. Kegiatan pengenalan sekolah itu diatur dalam Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016.
Visualisasi Mimpi
Kegiatan untuk siswa baru yang dikenal dengan masa orientasi siswa bertujuan mengenalkan lingkungan sekolah dalam pengertian yang cukup luas. Situasi belajar, peraturan sekolah, karakter dan budaya sekolah, serta yang tak kalah penting mengenal potensi diri merupakan pointer yang dapat dijadikan rujukan untuk merancang kegiatan yang kreatif, humanis, dan bermanfaat.
Memang belum ada survei apakah di awal tahun pelajaran baru sekolah telah menggagas kegiatan yang mengantarkan siswa lebih mengenal kelemahan dan potensi diri, membentuk forum atau kelompok-kelompok kecil didampingi seorang guru untuk berdiskusi, bertukar pikiran, berbagai cerita, merumuskan mimpi setiap siswa selama bersekolah.