Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memilih Perploncoan atau Visualisasi Mimpi?

12 Juli 2016   10:49 Diperbarui: 12 Juli 2016   17:11 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perpeloncan | Sumber: http://cdn.metrotvnews.com/dynamic/content/2015/07/29/151846/mdmJqR22eX.jpg?w=635

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan tidak main-main. Beberapa hari lagi, menjelang hari pertama masuk sekolah, Anis sudah mengirim peringatan. Tidak ada lagi perploncoan bagi siswa baru di sekolah. Masyarakat dan orangtua dihimbau agar turut mengawasi kegiatan hari pertama masuk sekolah. Apabila dijumpai perploncoan dan tindak kekerasan di sekolah, masyarakat dan orangtua bisa menghubungi nomor telepon 0811976929 atau 021-59703020. Indentitas pelapor dilindungi. (Kompas.com)

Antara Kebiasaan dan Peraturan

Entah dari mana asalnya, entah siapa pelaku awalnya, entah apa logika dan dasar berpikirnya, tiba-tiba saja perploncoan menjadi menu wajib bagi siswa atau mahasiswa baru. Ritual tahun pelajaran baru itu tidak jarang dilakukan dengan tindak kekerasan, bahkan berakhir dengan kematian.

Menurut Anis, tidak sedikit kepala sekolah melanggengkan perploncoan. Cukup mengejutkan, ternyata kepala sekolah hanya menjalankan kebiasaan yang sudah turun-temurun entah sejak kapan. Sekolah menjadi semacam camp yang dihuni oleh para pesakitan. Hanya ada satu perlakuan bagi para pesakitan itu: disiksa. Mulai disiksa secara fisikmental, sampai disiksa secara intelektual, misalnya siswa disuruh menghitung butiran garam, merayu tanaman, dan berperilaku layaknya orang gila.

Pantas Anis merasa kecewa. Dia bahkan mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada kepala sekolah yang membiarkan perploncoan dan tindak kekerasan yang terjadi di sekolah. "Sanksi dari mulai teguran sampai dengan pemberhentian. Intinya adalah kami tidak akan menoleransi pelanggaran di fase awal anak belajar,” ujar Anis.

Sulit dibayangkan dan diterima akal, sekolah yang seharusnya membangun tradisi intelektual, memelihara keteguhan moral, menjaga harkat kemanusiaan, berubah menjadi ajang praktek dehumanisasi. Dan, lihatlah, semua itu dijalankan begitu ringan – tanpa merasa perlu melangsungkan pemberontakan terhadapnya – karena telah menjadi kebiasaan.

Perploncoan yang menjadi kebiasaan itu diterima sebagai kelaziman oleh warga sekolah. Kelaziman yang menumbangkan obyektivitas dan kejernihan berpikir. Kelaziman yang menikam rasa kemanusiaan. Sungguh mengkhawatirkan, sekolah sebagai ekosistem pendidikan diam-diam menganggukkan kepala, dehumanisasi yang berlangsung adalah kelaziman.

Saya benar-benar gagal paham. Gagal segagal-gagalnya. Untuk merevolusi kebiasaan yang sudah lazim dan dilazimkan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahkan merasa perlu memberikan warning tentang kegiatan pengenalan sekolah, jauh-jauh hari sebelum siswa baru mulai belajar. Kegiatan pengenalan sekolah itu diatur dalam Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016.

Visualisasi Mimpi

Kegiatan untuk siswa baru yang dikenal dengan masa orientasi siswa bertujuan mengenalkan lingkungan sekolah dalam pengertian yang cukup luas. Situasi belajar, peraturan sekolah, karakter dan budaya sekolah, serta yang tak kalah penting mengenal potensi diri merupakan pointer yang dapat dijadikan rujukan untuk merancang kegiatan yang kreatif, humanis, dan bermanfaat.

Memang belum ada survei apakah di awal tahun pelajaran baru sekolah telah menggagas kegiatan yang mengantarkan siswa lebih mengenal kelemahan dan potensi diri, membentuk forum atau kelompok-kelompok kecil didampingi seorang guru untuk berdiskusi, bertukar pikiran, berbagai cerita, merumuskan mimpi setiap siswa selama bersekolah.

Ya. Hari-hari pertama masuk sekolah adalah hari-hari paling indah bagi siswa baru. Mengapa para guru tidak mengajak siswa menjaring mimpi lalu memvisualkannya dalam tayangan interaktif dan menarik? Mimpi yang hendak digapai selama tiga tahun bersekolah di SMA misalnya, lalu memproyeksikannya menjadi cita-cita masa depan?

Mimpi indah yang bukan hanya mimpi, bahkan mimpi-mimpi itu harus dipertanggungjawabkan sejak hari pertama masuk sekolah sampai kelulusan tiga tahun akan datang? Mimpi bukan rangkaian mimpi di siang bolong, tapi mimpi yang diraih dengan belajar tekun, bersikap jujur, berkarakter positif selama tiga tahun menempuh pendidikan di sekolah?

Adalah Niken Arina Pratiwi yang mengingatkan saya bahwa mimpi di hari pertama masuk sekolah atau perguruan tinggi adalah momen kunci untuk meraih masa depan yang penuh makna. Saya mengenal cukup baik gadis yang kini menempuh pendidikan S-1 di Teknik Fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

Apa yang hendak saya ceritakan tentang sosok gadis berjilbab ini? Adalah mimpi yang hendak diraihnya saat pertama kali ia menginjakkan kakinya di ITS Surabaya. Dalam tayangan yang di-uploaddi You Tube, Niken menulis, “If you don’t build your dream, someone will hire you to build theirs,”– Tony Gaskin.

Selanjutnya dalam tayangan animasi itu Nike merangkai mimpi demi mimpi. Di akhir tayangan ia menegaskan, “…but, God does not play dice. So…Dream. Believe. And make it happen.” Tayangan yang cukup manis dan menarik. Video selengkapnya dapat dilihat di sini.

Video yang menjadi tugas bagi mahasiswa baru itu bisa diadaptasi untuk rangkaian kegiatan masa orientasi siswa. Tidak perlu persis. Diambil idenya, disesuaikan dengan jenjang pendidikan, dipetakan tema yang akan disajikan. Selain berisi kegiatan untuk mengenal lingkungan, hari pertama di sekolah juga diwarnai oleh keasyikan para siswa mengenal dirinya, mengidentifikasi kelemahan dan potensi diri, merumuskan mimpi, mengeksekusinya menjadi tayangan yang menarik, mempresentasikannya di hadapan guru dan teman-temannya.

Tayangan mimpi masa depan itu menjadi semacam ikrar, peta perjalanan, juga berfungsi sebagai jangkar bahwa selain tekad dan kerja pantang menyerah, kehidupan layak dijalani dengan kegembiraan karena kita punya mimpi. Menarik bukan?

Monggo, silahkan memilih, perploncoan atau memvisualkan mimpi. []

Kelutan 12 07 16

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun