Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menemukan Meaningful Happiness Setelah Mudik Lebaran

11 Juli 2016   12:15 Diperbarui: 12 Juli 2016   03:27 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panggilan hidup | Sumber: http://gogetglory.blogspot.co.id/

Suasana lebaran meninggalkan aneka cerita. Kisah sedih dan duka selama mudik ke petilasan kampung halaman, pro kontra pernyataan Menteri Perhubungan, senyum lebar mereka yang bisa bersua bersama keluarga besar. Sepenggal episode cerita, bukan hanya layak dikenang, namun musti ditemukan inti sari makna untuk kehidupan.

Di siang yang sejuk, di teras depan rumah sahabat saya, di kampung petani yang ramah, saya berbagi cerita bersama sahabat lama. Kami saling menanyakan kabar, mengenang saat bersama pulang larut malam usai nonton midnight bioskop di kota, menghayati idealisme yang menyala.

Perbincangan lambat laun menukik ke tema lebih sederhana dan mendasar sehingga eman untuk dilewatkan. Ia bercerita tentang sosok Mahatma Gandhi. Waktu itu India dilanda konflik antara Muslim dan Hindu. Nahari, beragama Hindu, mendatangi Gandhi.

“Aku baru saja membunuh bocah muslim,” Nahari mengakui perbuatannya di depan Gandhi, penuh penyesalan.

“Mengapa kamu membunuhnya?”

“Mereka membunuh anakku. Aku pun membalasnya. Aku sangat menyesal. Apa yang harus aku lakukan? Tolong, selamatkan jiwaku!”

“Carilah bocah muslim yatim yang orangtuanya dibunuh oleh Hindu!” saran Gandhi. “Adopsi anak itu. Rawat ia baik-baik seperti kamu merawat anakmu sendiri. Tapi kamu jangan mengubah agamanya jadi Hindu. Biarkan ia tumbuh dengan keyakinan dalam dirinya!”

Beberapa kali saya pernah membaca cerita Gandhi dan Nahari. Namun kisah yang dituturkan sahabat saya di siang yang damai itu, memiliki getaran yang berbeda. Nuansanya berbeda. Alam batin saya meresponnya dengan suasana yang juga berbeda.

Selama ini saya menyerap kisah itu dari membaca teks, yang ditulis oleh beberapa penulis yang berbeda. Kali ini, saya mendengarnya secara live, dari penuturan sahabat saya, yang hampir seluruh hidupnya didermakan untuk kerja sosial dan pendidikan. Laku hidupnya merasuk dalam getaran kisah Gandhi dan Nahari. Kisah itu menjadi lebih hidup, berbobot – dan otentik.

Nahari tidak cukup melakukan pertobatan atas perbuatannya itu. Selama seseorang sungguh bertobat (taubatan nasuha), Allah Yang Maha Pengampun akan mengampuni dosa-dosanya. Selesai begitu saja? Ternyata tidak. Merujuk pada kisah di atas, ia perlu melakukan pengabdian  hidup (mengadopsi bocah muslim) sesuai dengan konteks kehidupan yang dijalaninya.

Di benak saya menggumpal beberapa tanya, sudahkah kita menemukan titik ordinat pengabdian hidup kita? Selain disibukkan oleh rutinitas pekerjaan, apa aktivitas kebahagiaan berjangka panjang dan bermakna yang telah kita lakukan untuk orang lain? Sudahkan kita merumuskan meaningful happiness selama bulan puasa, lalu kita menancapkannya dalam benak batin kita selama idul fitri, dan kini saatnya kita memulainya meskipun dengan langkah kecil dan sederhana?

Panggilan hidup seperti apa yang menyeruak dari dasar nurani setelah menyaksikan beberapa pemudik meninggal dunia selama perjalanan ke kampung halaman? Panggilan hidup seperti apa yang mengusik telinga batin setelah mendengar kabar pembagian zakat, infaq, dan sedekah kerap diwarnai adu dorong dan adu desak? Panggilan hidup seperti apa yang mengusai tekad kesadaran setelah menyaksikan dan berada di tengah kesemrawutan berkendara di jalan raya?

Life calling bukan labeling dan topeng kerja sosial yang mengumumkan dirinya sebagai organisasi, lembaga, yayasan nir-laba. Bukan panggilan hidup yang pura-pura mengabdi, apen-apen mempersembahkannya untuk (umat) manusia, gaya-gayaan menebar kemanfaatan bersama. Bukan kerja sosial politik kemanusiaan yang menghitung laba untuk kepentingan diri, keluarga, atau kelompoknya.

Panggilan hidup – dimana pihak pertama kali yang harus dikalahkan adalah egoisme kepentingan pribadi. Menaklukkan api nafsu yang berkobar untuk melahap kenikmatan, kemewahan, kemegahan dunia.

Tidak harus kerja besar untuk memenuhi panggilan hidup. Cukup kita jawab pertanyaan sederhana ini: kehidupan ideal bagaimana yang kita kehendaki dan bayangkan untuk dijalani bersama? Alangkah banyak ragam dimensi dan aspek kehidupan yang bisa kita masuki dengan membawa visi dan misi life calling. Dan itu bisa kita mulai dari lingkungan terdekat di rumah atau kampung kita.

Sahabat saya di kampung petani telah memulainya. Dikumpulkannya anak-anak petani untuk diajak back to basic: mengakrabi kembali kehidupan di sawah. Makin sulit mencari anak-anak muda yang mau menjadi petani dan menggarap sawah ladang orangtuanya. Mereka cenderung memilih sikap pragmatis: sawahnya dijual saja.

Sahabat saya yang lain, di selatan kabupaten Malang, merangkul warga, membentuk komunitas pendidikan dusun. Pendidikan menjadi jalan untuk membuka pikiran warga dusun sekaligus menyiapkan pola pikir masa depan bocah-bocah di sana. Pendidikan yang berintegrasi dengan kondisi lingkungan sosial budaya kehidupan dusun.

Ada yang membuka majelis anak jalanan. Remaja tanggung dan pemuda tidak jelas pekerjaannya diajak mengolah diri, dibongkar perkakas cara berpikirnya, disiapkan mentalnya, dicerahkan batinnya, diajak tangguh menjalani kehidupan sebagai manusia yang bermartabat.

Sepuluh seratus seribu sejuta gerakan life calling dipelopori mereka yang sudah selesai hidupnya. Tidak lagi pusing oleh sejumlah bundelan-bundelan pribadi khas mayoritas manusia zaman sekarang.

Mereka yang terpatri di dasar keyakinannya bahwa apapun yang tidak membunuhmu akan menjadikanmu manusia yang semakin kuat. Beraktivitas untuk memenuhi panggilan hidup sungguh membahagiakan dan berlimpah makna. Bagaimana, sudah menemukan meaningful happiness? []

Kelutan 11 07 16

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun