Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Maaf, Desain Panjenengan Saya Bajak

8 Juli 2016   21:05 Diperbarui: 8 Juli 2016   21:45 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masuk ke WA saya sebuah gambar, tertera di bawahnya tulisan, “Maaf, desan panjenengan saya bajak.” Setelah gambar saya buka ternyata sebuah desain ucapan Idul Fitri. Kapan  mendesain ucapan itu saya lupa. Saking banyaknya karya desain, termasuk desain ucapan Idul Fitri yang saya pasang di media sosial, saya bersyukur ada yang berterus terang “membajak” desain saya.

Tak mungkin saya melaporkan pembajakan itu karena pelakunya adalah sahabat yang paling akrab dengan saya. Tidak perlu pusing saya memikirkannya karena saya sangat hafal dengan guyonannya. Soal guyon-mengguyon jangan ditanya: saya dan dia seperti Kartolo dan Sapari.

Lalu mengapa saya menulis semua ini? Saya menulis pengalaman pembajakan desain bukan dalam konteks sebuah persahabat yang akrab. Tapi hal itu bukan berarti saya setuju dengan bajak-membajak. Sebuah karya yang dilahirkan oleh rahim kreativitas tetap harus dihargai, minimal dengan menyebutkan sumber tulisan atau desainernya.

Entah berapa ratus karya desain yang sudah saya hasilkan, mulai kartu lebaran, brosur, baliho, sampai majalah. Beberapa orang niteni dan langsung bisa menebak siapa di balik karakter desain itu, yang tak lain adalah saya. Itu bukan hal istimewa, demikian pikiran saya bersuara. Sebuah karya akan memiliki ciri khas, karakter, dan gayanya masing-masing.

Memang belum ada batasan atau ukuran peniruan. Gaya desain saya sering menjadi korban peniruan. Tidak ada konfirmasi sebelumnya bahwa gaya saya akan dipakai. Tidak apa-apa. Hitung-hitung saya beramal. Namun, ketika pihak yang meniru itu memakai jasa desainer lain lalu secara visual hasilnya banyak cacat, pertanyaan itu langsung dilayangkan kepada saya, karena dipikir saya desainernya. Bingung saja saya menerima pertanyaan itu.

Biasanya saya menjawabnya singkat, “Bukan saya desainernya.” Tapi jika hal itu berlangsung berkali-kali, jawaban saya tidak menyelesaikan masalah. Beberapa teman menyarankan agar saya bersikap secara jelas, misalnya menghubungi pihak yang meniru gaya desain saya agar menghentikan peniruan. Pihak peniru itu oleh beberapa teman disarankan agar mencari gaya desain yang baru sesuai kesepakatannya dengan desainer yang mereka pakai.

Saya bersyukur sampai hari ini saran beberapa teman itu belum satu pun saya laksanakan. Biarlah peniruan itu menjadi amal ibadah saya. Lagi pula, menurut pikiran saya, seorang penulis atau desainer tidak pernah berhenti pada satu gaya. Mereka akan terus melakukan eksperimen, merambah wilayah kreativitas yang lebih luas, menemukan ide-ide anyar visualisasi dengan tetap mempertahankan gaya khasnya.

Seorang leader tetaplah leader. Dalam karya tulis misalnya, kita bisa meniru gaya Seno Gumira Ajidarma. Tapi, sepandai-pandainya kita meniru, publik akan kembali mengingat Seno, bukan kita. Keberhasilan kita, pada akhirnya, bukan ditentukan seberapa persis kita meniru gaya Seno, melainkan kembali pada orisinalitas gaya sendiri, walaupun hal itu diberangkati dengan meniru gaya orang lain.

Proses sublimasi kreativitas itu seyogianya berlangsung terus, seiring dengan lahirnya karya-karya kita. Racikan beberapa gaya orang lain yang awalnya mendominasi perilaku kreativitas dapat dipastikan akan tiba di titik jenuh. Pasalnya, kita akan lelah dan kelelahan sendiri meniru gaya yang bukan diri kita. Menjadi sesuatu yang bukan kita akan sangat melelahkan.

Nah, di puncak lelah itulah benih orisinalitas mulai tumbuh. Semacam dialektika paradoksal: kita menemukan diri setelah capek menjadi orang lain. Fitrah bahwa setiap manusia unik dengan keunikannya masing-masing akan mengejawantah. Keyakinan ini semestinya kita rawat agar dalam menghasilkan karya, yang kreativitas dan orisinalitas menjadi faktor utama, tetap terjaga.

Kita menghasilkan karya dari rahim kehidupan kita. Rahim dengan temperatur, asupan makanan, oksigen, aliran darah yang pasti berbeda dengan rahim orang lain. Dalam rahim kehidupan inilah misteri kreativitas, ide, ilham, wangsit kerap bermain-main di sana. Sehingga menjelaskan bagaimana proses kreativitas berlangsung akan sama sulitnya dengan melukis di udara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun