Akibatnya, kita jauh dengan manusia, jauh dengan Tuhan. Kita terlempar ke pojok kesendirian dan terhalang kasih sayang Tuhan dan manusia. Menjalani hidup tak ubahnya meniti jalan setapak yang di kepung api. Panas. Gerah. Gampang tersulut. Gampang terbakar. Sebagai makhluk sosial kita menderita. Sebagai makhluk Tuhan kita merana ditimbun dosa.
Segala kesulitan dan kerumitan hidup agaknya berawal dari keengganan kita memelihara sikap sederhana.
Setelah mengikuti pendidikan di madrasah Ramadhan, kita mulai lagi hidup dengan lebih sederhana. Makan dan minum secara sederhana, berpakaian secara sederhana, bahkan jika perlu cita-cita perjuangan kita susun ulang secara sederhana. Secara sederhana artinya kita bergerak di titik keseimbangan. Tidak berkekurangan dan tidak berlebihan. Pas di tengah-tengah. Tidak sangat kanan dan tidak sangat kiri.
Titik tengah itu dalam kosmologi teologi disebut adil, salah satu sifat Tuhan. Fotografer menyebutnya fokus. Desainer grafis menamainya harmoni. Pemain sepak bola mengatakan umpan yang akurat.
Adil mengejawantah dalam perilaku dan praktek nyata hidup sehari-hari. Adil menjadi nyawa kesadaran dan gerak hidup, menjadi sikap utama negara ketika memutuskan kebijakan yang menyangkut harkat hidup rakyat.
Hidup yang makmur bukanlah hidup bermandi gelimang kemewahan, tetapi hidup dalam kecukupan. Karena orientasi pemenuhan kebutuhan hidup berada di titik keseimbangan yang pas. Sebelum hidup makmur kita perlu bersikap adil. Adil dulu baru makmur. Adil dan makmur.
Bagaimana, siap mulai lagi hidup dengan lebih sederhana? []
Jagalan 07 07 16
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H