Zaman saya kecil ada teman yang dipanggil “ngutil”. Ia sangat terampil ngutil alias mencuri dengan kecepatan tangan yang tak tertandingi. Keterampilan berpadu dengan kebiasaan menjadi brand tersendiri: ngutil. Di kalangan teman-teman ia pun punya gelar baru, yang sampai sekarang sulit kami lupakan. Diri teman saya dikenang sebagai diri yang ngutil.
Akan dikenang sebagai apakah kita? Guru yang bijaksana atau semena-mena? Polisi yang jujur atau curang? Menteri yang bersahaja atau yang selalu bermain mata? Demikianlah, manusia dikenang karakternya, peran sejarahnya, keluhuran harkat kemanusiaannya – atau bisa sebaliknya.
Budaya copy paste dalam kadar dan taraf tertentu mereduksi peran sejarah seseorang. Tak ubahnya ia menjadi tangan kanan teknologi yang bergerak hanya dalam dua kutub: benar dan salah. Padahal “kebenaran” memiliki dimensi dan kategori yang cukup luas, yakni baik dan indah. Kebenaran harus baik. Kebaikan harus indah. Keindahan harus benar.
Ucapan maaf yang dicopy paste itu, sungguh, saya bingung masuk kategori mana.
Maafkan khilaf dan salah saya selama ber-Kompasiana. []
Jagalan 060716 / Malam Idul Fitri 1437 H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H