Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Bukpuber", Orisinalitas Model Anak Ngaji

5 Juli 2016   03:07 Diperbarui: 5 Juli 2016   03:36 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengapa mereka tidak memakai istilah bukber yang kerap dipakai oleh banyak kalangan itu? Mengapa secara kompak mereka menggunakan istilah bukpuber? Ilham dari mana sehingga otak anak-anak itu merangka sedemikian rupa lalu menghasilkan istilah yang lahir secara orisinil dari pikiran mereka sendiri? Tak habis-habisnya saya melamun dalam tanya.

Sepele memang, hanya menemukan istilah baru. Namun otak saya menalar bahwa kreativitas anak, sekecil apapun itu, bukanlah perkara sepele. Saya sangat menghargai hasil kerja pikiran anak-anak meski bagi orang lain istilah yang berhasil mereka temukan itu bukan prestasi membanggakan.

Orisinalitas menjadi makhluk langka di tengah arus deras informasiyang sering menuntun cara berpikir kita. Di tengah itu semua, anak-anak adalah mangsa yang empuk bagi predator cara berpikir yang tidak henti-hentinya mengikis kedaulatan diri.

Cara berpikir yang didesain bahkan oleh lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap personalitas individu, termasuk anak-anak, yaitu sekolah. Lembaga formal yang kerap menampilkan paradoks-paradoks memprihatinkan terkait bagaimana praktek pendidikan dijalankan.

Sudah menjadi pandangan publik bahwa sekolah sarat dengan praktek penyeragaman. Tengok saja, misalnya penerimaan siswa baru tingkat SMP dan SMA. Standarisasi yang dipakai untuk menjaring siswa baru belum beranjak dari wacana akademik. Rerata Nilai Ujian Nasional (NUN) dan nilai Tes Potensi Akademik menjadi standar utama.

Itu baru seleksi masuk, apalagi praktek pendidikan setiap hari yang berlangsung di sekolah. Wacana akademik masih menjadi idola bagi model pendidikan kita. Orisinalitas siswa sebagai manusia yang dianugerahi fitrah dan beragam potensi untuk hidup dan menjalani hidup terkikis.

Pelan namun pasti, anak-anak tidak kenal dengan diri mereka. Mereka dicetak dalam satu plot cara berpikir yang nyaris seragam. Sebut saja seragam dalam memaknai makna kesuksesan, seragam dalam memandang diri sendiri, seragam dalam menilai aku termasuk siswa baik atau buruk, seragam dalam cara berpikir dan mengunyah teks, seragam dalam mengartikan masa depan…

Lalu dimanakah orisinalitas kaya warna anak-anak manusia? Apa sudah sedemikian linier cara berpikir dan gaya hidup pendidikan modern? Untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya mengapa mereka harus diasingkan kedaulatan dirinya? Apakah gerbong pendidikan akan selalu dihuni oleh keseragaman yang dipeta-petakan? Ada gerbong pendidikan untuk kelompok akademik tinggi, sedang, kurang, bahkan sangat kurang – dengan dampak psikologis yang tidak ringan? Apakah ini bukan sebuah tragedi kemanusiaan?

Terbelahnya sikap pandangan publik, termasuk guru, dalam menyikapi kasus kejahatan yang terjadi di sekolah, mencerminkan budaya berpikir dikotomis berkuasa benar di otak kepala kita. Berpikir sepenggal-sepenggal, melihat hanya dari satu sudut pandang, menilai hanya dari satu sisi, merasakan hanya dari satu pihak, dan beragam lapisan-lapisan berpikir yang tidak utuh-menyeluruh, merupakan fenomena yang tidak terlepas begitu saja dari hasil pendidikan yang mereduksi orisinalitas kemanusiaan.

Kita menjadi gagap menemukan diri di tengah konteks persoalan yang mendera tiada habisnya. Kegagapan bagai ruang kosong bagi masuknya cara dan sikap berpikir yang mereduksi orisinalitas dan jati diri kita sebagai manusia, juga sebagai warga bangsa.

Gagap dalam berpikir dan bersikap sehingga satu mengutuk maka kutukan itu akan bersambung berantai menjadi kutukan berikutnya. Satu mencaci akan disusul oleh caci maki berikutnya. Kutukan dan makian dalam satu persoalan akan sambung menyambung, secara berjamaah, menjadi satu, mengusai isi kepala kita. Kita terpenjara di tengah arus bebas keterbukaan komunikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun