Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Pertama Sekolah, Saya Kembali Menjadi Manusia

3 Juli 2016   01:32 Diperbarui: 3 Juli 2016   02:07 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semangat, tarik...! | Dok. Pribadi

Tidak pernah sepagi ini saya tiba di dusun Bajulmati. Belum jam tujuh. Saya dan Mahbub Junaidi, pengabdi di Bajulmati, dari Malang berangkat sebelum shubuh. Shalat shubuh di Gondanglegi, cari sarapan dan ngopi, di tengah semburat cahaya matahari pagi.

Berboncengan dengan membawa perkakas siswa baru TK Bajulmati, berdua kami menjalani tes kesabaran. Motor yang cukup tua untuk membawa berat badan kami, ditambah barang bawaan – bergerak lambat menembus kabut pagi. Memasuki desa Sitiarjo beberapa kali motor harus berhenti untuk menambah tenaga. Jalanan mulai menanjak meski tidak terlalu curam.

Tidak ada penat sepanjang perjalanan. Udara pagi dan embun yang segar, sedikit berkabut, menyegarkan paru-paru dan otak. Tak habis-habisnya obrolan dan candaan mewarnai suasana perjalanan dari Malang menuju Bajulmati. Dua jam perjalanan kami tempuh dan di depan mata jembatan Harapan menyambut kami.

Belum jam tujuh pagi. Masih ada waktu untuk mengendorkan punggung. Pak Izar menyambut kami dengan senyumnya yang lebar. Ditemani ketela godhok dan kopi panas, kami berdiskusi tentang acara hari pertama sekolah anak-anak TK Harapan. “Semua guru siap menyambut siswa baru,” ungkap Pak Izar. “Para ibu biasanya tidak ketinggalan mengantarkan anak mereka ke sekolah.”

Disangka Kandang Ayam

Pukul tujuh lima belas menit kami bertiga menuju TK Harapan Bajulmati. Sekolah yang berada di atas bukit bagian selatan dusun, awalnya akan terlihat bukan sebagai tempat belajar. Dari arah jalan dusun kita tidak akan bisa melihat “gedung” TK Harapan Bajulmati. Tertutup oleh rimbun pepohonan akan mengesankan lokasi itu seperti hutan tanpa penghuni.

Di atas bukit itulah “gedung” TK Harapan Bajulmati berada. Jalan setapak menanjak, disediakan untuk mencapai lokasi belajar. Mohon tidak membayangkan apalagi menyimpulkan  TK Harapan adalah sekolah alam. Sama sekali bukan. Saat kali pertama Mahbub Junaidi menunjukkan kondisi sekolah ini, kesan saya adalah – maaf – tak ubahnya kandang ayam.

Jalan setapak, jalan masa depan | Dok. Pribadi
Jalan setapak, jalan masa depan | Dok. Pribadi
Pagi itu para ibu sudah berkumpul di teras bangunan tanpa atap. Mereka menunggu anak-anak mereka. Seorang ibu tampak sedang menghibur putranya yang minta pulang. Sang ibu membawa sang anak menuju ayunan, satu-satunya permainan di halaman sekolah. Ia mengayun putranya. Sang anak mulai tertawa-tawa kegirangan.

Tepat pukul setengah delapan bel dibunyikan. Pak Srianto, Ibu Rusmini, dan Ibu Yayuk membimbing anak-anak berbaris. Para ibu tidak tinggal diam. Mereka turut ambil bagian meringankan tugas guru TK Harapan Bajulmati.

Hari itu Ibu Yayuk mengajar sambil menggendong bayinya yang baru berumur enam bulan. Pemandangan menarik sekaligus mengharukan adalah seorang ibu, salah satu wali siswa, menggantikan Ibu Yayuk menggendong bayinya.

Pemandangan yang membuat mata saya berkaca-kaca itu ternyata telah menjadi kebiasaan para ibu yang menunggu anaknya belajar. Mereka bergantian menggendong bayi Ibu Yayuk selama kegiatan belajar berlangsung.

TK Harapan Bajulmati | Dok. Pribadi
TK Harapan Bajulmati | Dok. Pribadi
Hari pertama sekolah di Taman Kanak-Kanak Harapan Bajulmati membuka mata saya akan arti kepedulian, kerja sama, guyub rukun, gotong royong, antara guru dan wali murid. Para ibu datang ke sekolah bukan cuma mengantar dan menunggu anak belajar. Mereka terlibat secara langsung menyukseskan kegiatan belajar anaknya dengan turut meringankan tugas guru. 

Para guru dan siswa bernyanyi, bertepuk tangan, dengan diselingi cerita-cerita pendek. Menyaksikan kegiatan belajar itu saya tidak perlu masuk ke dalam ruang kelas. Apa sebab? “Tembok” ruang kelas mereka berupa anyaman kawat. Angin segar perbukitan leluasa menerobos. Saya pun dapat menatap kegiatan mereka dengan duduk bersandar di bawah pohon.

“Family Gathering” Model Sekolah Dusun

Kegiatan bernyanyi, bertepuk tangan, dan bercerita itu tidak berlangsung lama. Semua siswa dan ibu-ibu yang menunggu anaknya belajar akan pindah lokasi. Mereka akan melanjutkan kegiatan hari pertama sekolah di pantai Bajulmati. Truk tua sudah menunggu di bawah. Anak-anak berbaris lalu beriringan menuju truk. Mereka digendong Pak Izar satu persatu, naik ke atas truk.

Dua belas bocah sudah naik di atas truk lalu disusul para ibu. Truk terguncang-guncang, melewati jalanan berbatu. Sebuah sensasi tersendiri: naik truk terbuka, badan berguncang, diterpa angin, melewati kiri kanan hutan dan rawa. Dan lihatlah anak-anak dusun itu, mereka ceria dan riang gembira.

Di pantai Bajulmati sudah berkumpul siswa TK Goa Cina bersama orangtuanya. TK Goa Cina merupakan TK “cabang” yang dikelola Lembaga Pendidikan Harapan. Bergabunglah dua TK dari dusun yang berbeda. Di pantai Bajulmati bocah-bocah itu tidak memerlukan waktu cukup lama untuk berakrab ria, apalagi para ibu. Para siswa baru itu seakan sudah menjadi keluarga besar. Model keakraban dan keguyuban yang jarang dijumpai di kota.

Bermain dengan fasilitas seadanya | Dok. Pribadi
Bermain dengan fasilitas seadanya | Dok. Pribadi
Acara hari pertama sekolah di Bajulmati tergolong unik. Dirancang agar para bocah yang baru merasakan sentuhan bermain di taman kanak-kanak itu merasa senang, gembira, aman, nyaman. Ya, siang itu acara utamanya adalah bermain dan bersenang-senang. Adakah kegiatan yang menggembirakan anak selain bermain?

Maka, dimulailah kegiatan outbond sederhana, dengan peralatan sederhana, dengan konsumsi sederhana. Di pasir pantai Bajulmati yang lembut bocah-bocah dusun melepas alas kakinya. Saya tidak menyebut sepatu karena tidak sedikit yang menggunakan sandal.

Mohon tidak  mengadili orangtua mereka tidak disiplin, membiarkan anaknya ke sekolah memakai sandal. Ini bukan soal sandal atau sepatu. TK Harapan Bajulmati dan TK Goa Cina adalah sekolah rakyat. Niat dan kesungguhan belajar paling utama. Jangankan bersepatu, TK dusun ini sendiri berdiri berkat wadah komunitas warga, tentu dengan fasilitas belajar apa adanya.

“Kami belajar dan mengajar secara apa adanya,” papar Mahbub Junaidi, “bukan karena ada apanya.” Paham kan maksud kalimat ada apanya? Sikap pengabdian para guru bukan terutama suatu hari akan diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Lalu mengajukan mutasi agar dipindah ke daerah yang lebih layak. Mereka menjadi guru karena hati nurani mereka memanggilnya. Jika bukan mereka yang peduli dengan pendidikan bocah dusun, harus kepada siapa mereka berharap?

Tarik tambang, melatih sportivitas | Dok. Pribadi
Tarik tambang, melatih sportivitas | Dok. Pribadi
Didorong oleh rasa peduli itulah Pak Srianto lulusan STM harus memupuk keyakinan bahwa dirinya mampu menjadi guru dan panutan bocah dusun. Tamatan STM itu kini menjadi Kepala Taman Kanak-Kanak Harapan.

Suara riang tertawa anak-anak itu pecah sudah. Mereka mengikuti permainan demi permainan dengan pikiran tanpa beban. Tidak berbeda dengan para guru: mereka larut menyatu dengan ulah tingkah bocah-bocah. Tak tahan saya menyaksikan keasyikan itu, sehingga saya pun melepas sandal dan bergabung bersama mereka.

Angin laut selatan mengirim ombak ke pantai. Gemuruh ombak mengabarkan gemuruh tekad bocah-bocah dusun yang tidak akan berhenti belajar. Mengabarkan gemuruh semangat pengabdian para guru untuk melayani pendidikan di dusun mereka sendiri.

Semangat, tarik...! | Dok. Pribadi
Semangat, tarik...! | Dok. Pribadi
Mengabarkan gemuruh harapan orangtua dan warga, walaupun dusun Bajulmati terletak di pojok paling selatan kabupaten Malang, hal itu bukan alasan untuk tidak merasakan sentuhan pendidikan. 

Mengabarkan gemuruh pikiran saya sendiri, inilah pendidikan komunitas yang diwujudkan oleh manusia dusun tanpa pengetahuan bahwa mereka sedang berkomunitas karena bagi mereka yang penting adalah tekad dan kerja nyata.

Waktu bermain bagi anak-anak sudah habis. Mereka diperkenankan istirahat, menikmati air putih dan panganan sederhana ala dusun. Duduk berselonjor kaki menghadap ke laut, anak-anak itu tidak rewel dengan makanan dan minum. Seorang anak sorot matanya menatap jauh ke cakrawala samudera biru. Di batas cakrawala itu ia seakan melihat cita-cita masa depannya.

Apakah acara sudah selesai? Pak Izar mengumpulkan para wali siswa baru dan guru. Ternyata sesi berikutnya adalah kegiatan yang melibatkan wali siswa dan guru. Tarik tambang. Empat tim tarik tambang, gabungan wali siswa dan guru terbentuk. Saya pun turut serta ke dalam salah satu tim itu.

Bersama Kang Di dan Mahbub Junaidi (pakai blangkon), rehat sejenak | Dok. Pribadi
Bersama Kang Di dan Mahbub Junaidi (pakai blangkon), rehat sejenak | Dok. Pribadi
Posisi segera dibagi. Saya berdiri di paling depan. Anak-anak menjadi suporter. Tarik tambang makin meriah. Pada hitungan ke-tiga kami saling hentak, saling tarik, saling seret. Tak ayal, saya pun terjerembab, disusul bapak-bapak yang berdiri di belakang. Tim saya berhamburan. Semua tertawa lepas.

Di dusun Bajulmati, saya merasakan kegembiraan yang alami di tengah acara, yang menurut orang kota bernama family gathering.  Ah, apapun istilahnya, dan sahabat-sahabat saya di dusun ini pun tidak tahu dengan istilah itu – nyatanya kami merasakan keguyuban, kerukunan, kebersamaan secara apa adanya.

Makan bareng | Dok. Pribadi
Makan bareng | Dok. Pribadi
Acara diakhiri dengan makan bersama duduk lesehan di tepi pantai. Kesederhanaan yang menghadirkan kemewahan. Di hari pertama sekolah itu saya merasa kembali menjadi manusia, bersama para bocah dan warga dusun yang bersahaja. []

Jagalan, 020716 / Achmad Saifullah Syahid

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun