Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kriminalisasi Lagi, Kriminalisasi Lagi

1 Juli 2016   23:18 Diperbarui: 1 Juli 2016   23:40 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan praktek pendidikan di sekolah. Kriminalisasi terhadap guru terjadi lagi dan terjadi lagi. "Sekolah bukan lagi ruang nyaman bagi para guru dalam mendidik, menanamkan budi pekerti, membentuk karakter dan nilai-nilai disiplin siswa. Mereka dicekam rasa ketakutan dalam melaksanakan tugas edukatifnya," ucap Pelaksana Tugas Ketua Umum PGRI, Unifah Rasidi.

Adalah Muhammad Samhudi, Wakil Kepala Sekolah SMP Raden Rachmat, ketiban apes. Samhudi didakwa memukul lengan dan mencubit dua siswanya. Akibatnya, korban mengalami luka memar di lengan sebelah kanannya. Atas kasus itu, Samhudi dijerat pasal 80 ayat 1 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Mencermati kasus serupa yang kerap berakhir di dalam tahanan itu, guru melakukannya dalam rangka mendisiplinkan siswa. Tidak mengikuti kegiatan shalat Dhuha, berambut panjang, atau kasus disiplin lainnya, yang terkait dengan perilaku siswa, kerap menguras kesabaran guru. Sebagai manusia yang memiliki batas kesabaran, guru diuji kelapangan dada dan ketangguhan sikap mendidiknya.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan, menghimbau agar guru menggunakan teknik baru yang jauh dari kekerasan dalam mendidik dan mendisiplinkan siswa. "Teknik (hukuman fisik) itu tercampur antara usaha mendisiplinkan dengan menyalurkan emosi. Anak-anak sering menguji kesabaran kita. Di situ guru dan orang tua perlu memutar otak bagaimana mendisiplinkan yang efektif tanpa menyakiti anak," ujar Anies. (portalsatu.com)

Jarang dijumpai kasus yang diidentikkan sebagai kekerasan dan berlanjut ke meja hijau, dipicu oleh persoalan kemampuan kognitif-akademik siswa. Biasanya, kasus aspek kognitif-akademik cukup diselesaikan, misalnya dengan tidak menaikkan siswa ke jenjang kelas berikutnya. Atau, zaman dulu, nilai pelajarannya ditulis dengan warna merah.

Apakah keputusan tidak menaikkan kelas bukan kekerasan, atau bahkan bukan kejahatan? Kenangan buruk itu akan melekat secara emosional-psikologis di benak siswa, dan tidak jarang membentuk labeling sebagai anak bodoh. Labeling menyakitkan yang akan diingat  oleh anak dan teman-temannya hingga mereka dewasa. Lebih sakit mana kekerasan fisik ataukah kekerasan psikologis seumur hidup?

Menurut pengakuan Anis, Kemendikbub sedang membuat panduan teknik untuk dijadikan pedoman bagi guru mendidik dan mendisiplinkan siswa. Disarankan juga oleh Mendikbud agar orang tua tidak gegabah membawa dugaan tindak kekerasan guru kepada siswa ke ranah pidana.

Saya sependapat dengan Anis. Meskipun sudah ada Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Guru Nomor 74 Tahun 2008 Pasal 39, praktek mendidik tidak boleh menggunakan cara tindak kejahatan. Terminologi kriminalisasi yang terlanjur disandingkan pada guru (kriminalisasi guru) lebih cocok untuk perbuatan pidana, bukan untuk peristiwa pendidikan.

Kriminalisasi atau Depenalisasi

Peristiwa pendidikan yang berlangsung di sekolah memiliki dinamika kompleksitas yang rumit, pelik, dan berlapis-lapis. Proses belajar mengajar bukan cuma peristiwa guru mentransfer pengetahuan kepada siswa. Bukan cuma guru menerangkan, siswa mendengarkan. Bukan cuma guru memberi tugas, siswa menyelesaikannya. Bukan cuma siswa bertanya, guru menjawab.

Kompleksitas hubungan antar manusia – bukan hanya antara fungsi guru dan fungsi murid – dibangun oleh beragam faktor yang mewarnai peristiwa belajar. Psikologi personal, ekonomi, budaya, tradisi, status kelas sosial, arus perubahan teknologi infromasi, merupakan item tidak kasat mata, dan hal itu berlangsung dalam dinamika proses belajar mengajar yang melibatkan sekumpulan manusia.

Dinamika kegiatan belajar mengajar zaman saya sekolah dasar jauh berbeda dengan anak zaman sekarang. Kenakalan anak zaman saya amat berbeda karakter dan polanya dengan kenakalan anak zaman sekarang. Mandi di sungai saat jam belajar berlangsung adalah pelanggaran kelas berat zaman saya bersekolah di SD. Menjelang pulang sekolah bersama enam kawan lainnya, kami atri berbaris untuk menerima cubitan di pinggang.

Apakah saya marah, jengkel, dendam atas “kekerasan” yang dilakukan Ibu Kepala Sekolah waktu itu? Sama sekali tidak. Bagi kami itu kenangan indah, yang selalu jadi tema perbincangan saat reuni bersama teman-teman sekolah dasar. Cubitan Ibu Kepsek itu seakan menjadi jalan bagi saya menerima pengertian dan ilmu yang lebih luas, dan tentu saja kebijaksanaan.

Saya tidak menyarankan perbuatan yang sama kepada guru-guru masa kini. Di samping tingkat keprihatinan guru-guru kita zaman dulu lebih ikhlas dihayati dan tulus mendidik, sehingga tindak “kekerasan” mereka berangkat dari kebeningan hati nurani, guru zaman sekarang akan berhadapan dengan perangkat hukum, Undang-Undang Perlindungan Anak.

Cubitan yang saya terima usai mandi di sungai bukan tindak kekerasan, apalagi kriminalisasi guru, karena zaman itu belum ada perangkat hukum untuk menjeratnya. Juga bapak saya pasti akan membenarkan tindakan guru dan menyalahkan perbuatan saya. Bapak saya akan sangat berterima kasih karena guru sudah mendidik saya dengan cara yang tepat.

Menurut A’an Efendi, dalam Meluruskan Makna Kriminalisasi, kriminalisasi menjadikan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. Syarat mutlak suatu kriminalisasi adalah bahwa itu harus dilakukan dengan undang-undang. Tanpa undang-undang tidak ada kriminalisasi. Undang-undang adalah conditio sine quanon dilakukannya kriminalisasi.

Fakta hukum Undang-Undang Perlindungan Anak (sebagai conditio sine quanon) harus diterima guru. Sungguh ironis, peristiwa pendidikan yang berlangsung di sekolah, yang seharusnya menghadirkan humanisme pendidikan, ternyata rentan berhadapan dengan perangkat hukum. Kenyataan yang disikapi oleh sebagian kalangan guru sebagai rasa tidak aman dan nyaman saat mendidik siswa di sekolah.

Terminologi kriminalisasi guru menimbulkan rasa bahasa yang tidak nyaman. Risih. Saya menilai sikap edukatif dan moralitas guru dikesankan kikis. Guru hanya menjadi pekerja biasa, kalau tidak ingin disebut buruh, karena pondasi nilai luhur yang menjadi roh peran seorang guru disandingkan dengan perbuatan tindak pidana. Kriminal dan guru: bukankah dua paradok yang mengacaukan kesadaran nilai?

Bagaimana kalau kita memakai terminologi depenalisasi guru? Masih menurut A’an Efendi, depenalisasi berarti suatu perbuatan yang awalnya tindak pidana setelah didepenalisasi berubah menjadi bukan tindak pidana tetapi apabila perbuatan itu dilakukan pelakunya masih dapat dikenakan sanksi tetapi bukan sanksi pidana melainkan sanksi perdata (ganti rugi) ataupun sanksi adiminstratif.

Saya tidak tahu apakah depenalisasi guru dapat diterapkan dalam kasus kekerasan yang dituduhkan pada guru. Silahkan para pakar hukum mengkajinya. Saya cuma tidak rela, peran seseorang yang seharusnya digugu dan ditiru hilang makna filosofinya yang paling mendasar. []

Jagalan 01 07 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun