Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Menggembirakan, Bermain Mencerdaskan

30 Juni 2016   00:51 Diperbarui: 30 Juni 2016   01:01 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar Menggembirakan, Bermain Mencerdaskan | Dok. Pribadi

Mentalitas guru adalah bawahan kepala sekolah; kepala sekolah adalah bawahan pengawas pendidikan; pengawas pendidikan adalah bawahan kepala dinas, dan seterusnya – merupakan fakta yang kasat mata. Kendala mental-psikologis ini harus diurai apabila kita menghendaki transformasi dan perubahan untuk menjadikan sekolah sebagai lingkungan belajar yang manusiawi.

Itu baru satu tempurung mental terkait model interaksi dan komunikasi guru, kepala sekolah, pengawas pendidikan, dan kepala dinas. Adakah tempurung-tempurung yang lain? Tentu saja ada, kalau tidak mau dibilang banyak. “Salah satu masalah yang timbul selama ini adalah pendidikan terasa seperti sebuah penderitaan,” ungkap Anis.

Nah, pendidikan identik dengan penderitaan merupakan tempurung yang cukup pelik. Pendidikan identik dengan intimidasi, pemaksaan, kekejaman, yang semua itu sesungguhnya berakar pada satu permasalahan pokok: siswa belum, atau tegasnya, tidak dihargai sebagai manusia. Maka, masalah yang timbul di sekolah – semoga tidak berlebihan – adalah masalah kemanusiaan.

Sekolah terkurung oleh tempurung bersama asumsi-asumsi yang diyakini, digagas, diciptakan, dipraktekkan, dicita-citakan sebagai satu-satunya tempat belajar yang ideal, dengan menggerus harkat kemanusiaan. Saya menggunakan kata “satu-satunya” karena selama ini kita kehilangan sikap kritis untuk membedakan antara sekolah dan pendidikan, belajar dari dan mempelajari, wajib belajar dan wajib sekolah. Tempurung yang menyekap warga sekolah sehingga abrasi nurani – salah satu akar masalah kemanusiaan – tidak tertangkap mata.

Sekolah seakan menjadi dunia lain yang hidup berdampingan dengan dunia nyata di sekelilingnya. Munculnya sekolah alternatif seperti Home Education (HE) atau sekolah alam (bukan sekedar sekolah di alam) dirintis oleh mereka yang merasa pengap dan sesak hidup di dalam tempurung persekolahan.

Dunia di luar tempurung mengajarkan kenyataan bahwa hidup tidak selalu berurusan dengan nilai di rapot – peradigma belajar yang masih menjadi dewa bagi sekolah dalam tempurung. Akan sangat panjang apabila kenyataan-kenyataan di luar tempurung kita urai disini.

Walhasil, untuk menciptakan sekolah aman tidak lantas selesai dengan menyediakan situs pengaduan tindak kejahatan. Karakter dan budaya sekolah yang menjadi tempurung pun harus dibuka, diurai, ditransformasi.

Praktek pendidikan yang terbebas dari masalah kemanusiaan semoga tidak hanya menjadi harapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Mewujudkan sekolah aman bagai taman merupakan agenda gerakan kita bersama. 

Alangkah bahagia anak-anak kita, alangkah bangganya Ki Hadjar Dewantara menyaksikan sekolah bagai taman hadir di tengah-tengah kita. Belajar yang menggembirakan, bermain yang mencerdaskan. Semoga. []

Jagalan 30062016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun