Satu minggu menjelang Hari Raya Idul Fitri, dulu, saya selalu siap diomelin istri bukan terutama karena THR atau baju baru. Soal THR dan baju baru di keluarga saya menjadi urusan yang sudah selesai bahkan sejak sebelum puasa. Ribut mengharap THR dan ribet beli baju baru bukan tradisi. Dua urusan itu berhasil kami selesaikan dengan sikap syukur.
Saya hampir konsisten dengan keterlambatan mengambil keputusan kapan mudik ke Trenggalek, kota kelahiran istri. Konsistensi yang membuat istri saya jengkel. Kadang saya merasa egois dengan keputusan bertahan di Jombang sampai tiga hari setelah 1 Syawal. Bagaimana tidak? Hari pertama idul fitri hingga hari ketiga menjadi momentum pribadi: aroma udara pagi idul fitri, berjumpa sahabat dan teman bermain waktu sama-sama masih bocah, cerita konyol yang berhamburan, nostalgia yang indah.
Tentu saya tidak bisa bersikap egois terus menerus. Istri juga membutuhkan suasana mudik, menghayatinya, menikmatinya, mengenangnya di kampung halaman. Maka, sudah tiga kali lebaran kami berangkat ke Trenggalek sehari sebelum idul fitri.
Mudik dengan tradisi dan ritual yang mengiringinya sungguh terasa sakral, bahkan mistis. Bergelayut di dalam hati perasaan aneh, asing, rindu, kangen, dan berlipat-lipat kelembutan situasi emosional – semua itu tidak gampang diungkapkan dengan kata. Mudik menjadi kesadaran yang utuh, laku hidup yang mengharu-biru siapa saja kala terdorong untuk kembali.
Kembali kemana, kembali pada apa, atau kembali pada siapa? Jawaban yang kadang cukup pelik untuk diuraikan, apalagi didetail-ceritakan. Ada tradisi mudik, kemacetan mudik, keselamatan mudik, kenyamanan mudik. Yang tidak bisa dijlentrehkan terutama adalah rasa mudik.
Ya, rasa mudik. Kesadaran yang menggerakkan kita agar selalu kembali kepada titik nol: koordinat sebelum langkah kesatu, kedua, dan seterusnya – dimulai. Koordinat titik nol adalah sesaatsebelum detik-detik ibu melahirkan kita. Koordinat nol adalah sesaat sebelum jatung berdetak mengawali kehidupan kita di dunia. Koordinat nol adalah sesaat sebelum paru-paru kita menghirup udara dusun atau desa tempat kita dilahirkan. Koordinat nol adalah titik berangkat sesaat sebelum kita mengenal takdir hidup di dunia.
Mudik akan selalu berkaitan dengan simpul budaya koordinat nol: ziarah ke makam orangtua, sungkem bapak dan ibu, berjumpa teman dan sahabat saat kecil, shalat di mushola yang menjadi tempat pertama kali kita tidur malam terpisah dari orangtua. Simpul-simpul budaya koordinat nol hadir dan kita jamah kembali setelah langkah kaki berjalan sampai koordinat angka yang entah keberapa.
Alhasil, mudik adalah perjalanan pergi untuk kembali. Simpul budaya koordinat nol menuntun kita pada kesadaran yang lebih subtansial. Hidup bukan sekedar berurusan dengan bungkus. Ada esensi di dalam setiap peristiwa yang hendak kita gapai. Esensi itu apabila kita padatkan menjadi sense of purpose.
Sense of Purpose:Daya Hidup
Di tengah laju kencang perubahan zaman, di tengah hiruk pikuk problematika hidup, di tengah hegemoni cara berpikir yang menelanjangi harkat kemanusiaan, sense of purpose adalah daya hidup yang menjadi orbitasi setiap laku dan langkah, sehingga kita tidak melayang-layang tanpa arah. Bukankah Tuhan memiliki maksud atas kelahiran kita di dunia?
Kita hidup untuk menjalankan sebuah misi. Masih ingat bagaimana seorang Nelson Mandela yang memiliki sense of purpose mengagumkan? I am prepared to die adalah ungkapan yang menunjukkan betapa dahsyat karakter sense of purpose yang dimiliki Mandela. Berkat daya hidup siap mati dan siap mewakafkan dirinya melawan dominasi kulit putih tapi juga menentang dominasi kulit hitam, meringkuk di dalam penjara selama duapuluh tujuh tahun tidak membuat Mandela gila. Ia teguh memegang misi hidupnya.