“Uang tabungan saya di rumah.”
Saya tidak bertanya panjang lebar tentang sejarah uang ini karena sang anak buru-buru pamitan.
Saya buka amplop. Sejumlah uang tertata rapi dan saya hitung jumlahnya. Gusti Pengeran, amat sangat cukup untuk membeli kain buat empat puluh anak. Esok hari kain seragam ngaji siap dikirim ke penjahit. Keajaiban belum berakhir. Bagai sebuah magnet, satu kebaikan menarik kebaikan berikutnya. Saya kabarkan berita gembira itu kepada anak-anak yang lain.
“Alhamdulillaaah…” serempak mereka mengucap syukur. Riuh celoteh anak-anak sahut menyahut.
“Tidak sampai bulan Oktober seragam kita sudah jadi,” harap seorang anak.
“Iya. Kalau bisa sebelum hari raya seragam sudah jadi.”
“Wah ndak bisa. Tabunganku baru terkumpul limapuluh ribu rupiah.”
“Gampang,” kata anak yang lain. “Kita bagikan saja THR!”
“THR?”
“Iya. Kita bantu teman yang tabungannya masih kurang dengan Tabungan Hari Raya kita.”
Saya bangga bukan main dengan anak-anak, meskipun hati saya agak cemas. Bagaimana menjelaskan solusi cerdas khas anak-anak itu kepada orangtua mereka? THR alias Tabungan Hari Raya. Ada-ada saja istilahnya. Entah dari mana istilah itu ditemukan.