Orang tua mana tidak bangga memiliki anak di usia yang masih sangat belia sudah hafal Al-Quran? Bukan hafal juz 30 saja, bahkan hafal 30 juz Al-Quran adalah mimpi, idaman, harapan hampir setiap orang tua muslim.
Tentu saja harapan itu didorong oleh keutamaan yang dijanjikan Allah kepada mereka yang mempelajari dan menghafal Al-Quran. Dari Aisyah r.h.a berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang ahli dalam Al-Qur’an akan berada bersama malaikat pencatat yang mulia lagi benar, dan orang terbata-bata membaca Al-Qur’an sedang ia bersusah payah (mempelajarinya), maka baginya pahala dua kali.” (HR. Bukhari, Nasa’i, Muslim, Abu Daud, Tarmidzi, dan ibnu Majah).
Beberapa tahun terakhir bermunculan metode membaca atau menghafal Al-Quran. Metode cepat membaca Al-Quran menjamur di mana-mana. Setiap metode selalu menjanjikan percepatan. Jaman saya kecil metode seperti Iqra’, Tartila, Qiroaty belum ada. Cara membaca Al-Quran diajarkan secara natural, nyaris tanpa upaya percepatan, seperti yang dijanjikan metode zaman sekarang.
Meskipun tidak pernah dijanjikan bisa membaca Al-Quran dalam waktu singkat, belajar membaca Al-Quran zaman dulu tetap menggunakan metode yang dikenal dengan metode Al-Baghdady. Cara membacanya harus dieja. Alif fathah “a”, alif kasroh “I”, alif dlommah “u”, lalu bunyi terakhir dirangkai: a…i…u.
Tidak Terjebak pada Metode
Apapun metode yang dipakai, yang perlu diingat adalah tujuan akhir menggunakan metode itu, yaitu mampu membaca Al-Quran dengan baik dan benar, sesuai kaidah pelafalan huruf (makhorijul huruf) dan tajwid.
Fakta yang terjadi, banyak tersebar di berbagai kalangan, mereka lebih memprioritaskan metode yang dipakai. Metode membaca Al-Quran seperti produk kecap: diklaim sebagai metode nomor satu. Metode yang lain adalah produk nomor dua.
Alih-alih fokus pada bagaimana membaca Al-Quran dengan baik dan benar, tidak sedikit kalangan yang terjebak pada bisnis memasarkan metode. Membaca Al-Quran menjadi urusan sekunder, metode yang dipasarkan menjadi urusan primer. Kata para sesepuh, zaman sudah terbalik, menemukan kebenarannya.
Metode cepat menghafal Al-Quran dipasarkan dengan janji-janji yang melambungkan mimpi. Kita perlu kembali menatap diri, menata niat, menghitung mimpi: kita sedang berjualan metode atau menjaga ayat-ayat Al-Quran.
Demam menghafal Al-Quran bukan hanya menjebak pelaku bisnis metode: sekolah dengan label Islam tidak segan memasang tulisan besar: Program Unggulan Menghafal Al-Quran. Setelah dipelajari sistem dan mekanisme bagaimana para siswa menghafal Al-Quran, program itu tidak lebih sekadar trik menarik minat calon siswa baru.
Membangun Pondasi Bacaan Al-Quran
Para orang tua yang menghendaki anaknya sejak dini hafal Al-Quran seyogyanya tidak ikut terjebak oleh kecenderungan perilaku bisnis yang mengumbar janji. Menghafal Al-Quran tidak bisa dipahami dengan hitungan matematis. Misalnya, satu juz dihafalkan dua hari. Maka, kita hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 60 hari. Bayangkan, hanya butuh enampuluh hari kita hafal 30 juz Al-Quran!
Bagaimana menyikapi pola berpikir yang pragmatis seperti itu? Al-Quran adalah firman Allah, milik-Nya, bukan milik kita. Kalau ada seseorang atau anak sanggup menghafal dalam waktu sangat singkat, cermati pula bagaimana proses sebelum kegiatan menghafal dilangsungkan. Pasti ada kegiatan pra-menghafal yang memudahkan hafalan. Selebihnya, semua bisa terjadi apabila Tuhan menghendaki. Yang terakhir ini bukan wilayah kita. Ia murni wewenang dan kehendak Tuhan.
Maka orang tua hendaknya tidak memaksa anak agar menghafal Al-Quran, apalagi harus ditempuh dalam waktu singkat. Menempuh langkah untuk menyiapkan anak sebelum menghafal Al-Quran lebih urgen untuk dikerjakan daripada langsung menodong dengan hafalan.
Orang tua perlu mengajarkan cara melafalkan huruf-huruf Al-Quran dengan mengikuti kaidah pelafalan yang benar. Mumpung anak masih belia, lisannya masih lemas, ajarkan mereka tata kaidah melafalkan huruf (makhorijul huruf) melalui bacaan-bacaan pendek surat Al-Quran. Perhatikan lisan anak, sudah tepatkan shifat dan makhroj huruf-nya? Pembelajaran ini ditekankan pada praktek (amaly), bukan teori (ilmy).
Pondasi berikutnya adalah mengajarkan kaidah bacaan yang bertajwid. Tidak berbeda dengan mengajarkan kaidah melafalkan huruf, pembelajaran tajwid ditekankan pada praktek. Pada tahap ini anak belum perlu mengetahui nama-nama bacaan dalam ilmu tajwid. Targetnya adalah anak membaca dengan benar sesuai kaidah tajwid.
Pondasi untuk membangun bacaan Al-Quran tidak akan berfungsi maksimal apabila anak tidak bisa membaca tulisan Al-Quran. Sering kita menemukan anak hafal beberapa juz Al-Quran tapi dia masih buta dengan tulisan Al-Quran. Pencapaian yang kontra produktif bagi masa depan hafalan Al-Qurannya. Pondasi bacaannya rapuh. Patut disayangkan memang.
Kunci Menghafal adalah Pengulangan
Ketika pondasi bacaan Al-Quran sudah mapan dan kokoh, orang tua bisa mulai nyicil dengan target menghafal surat-surat pendek. Pengulangan adalah kunci. Pengulangan diterapkan misalnya memilih waktu yang rutin kapan anak diperdengarkan bacaan Al-Quran. Atau pengulangan terhadap bacaan yang sudah dihafal anak (muroja’ah). Pola pengulangan harus ajeg (istiqomah) sesuai kemampuan anak.
Menghafal Al-Quran memang aktivitas mulia. Meski demikian ia bukanlah aktivitas untuk meraih kebanggaan dan pujian. Keikhlasan hati orang tua merupakan bunga-bunga doa yang dipanjatkan kepada Sang Pemilik Kalam. []
Malam Nuzulul Quran, Jagalan 210616
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H