Kekesalan teman saya tumpah di ruang tamu. Siang itu, di tengah rintik hujan bulan Juni, ia menyemburkan kalimat-kalimat ketidakpuasan. Soal apa? Apa lagi kalau bukan tentang sekolah dan pendidikan.
Sepertinya sudah menjadi nasib saya menjadi tempat pembuangan kekesalan, dan pada taraf tertentu, membesarkan hati mereka yang frustasi terhadap kondisi sekolah anaknya. Sore itu kekesalan teman saya dipicu oleh petugas penerimaan siswa baru yang tidak paham visi misi sekolah.
“Bagi calon wali murid yang lain,” kata teman saya, “Visi misi sekolah mungkin bukan perkara penting. Tapi, bagi saya, calon wali murid wajib mengetahuinya. Apalagi warga sekolah.”
“Apa pentingnya mengetahui visi misi sekolah?” saya menggodanya dengan pertanyaan.
“Ah, kamu selalu berlagak tidak tahu! Warga sekolah yang tidak mengetahui visi misi ibarat orang bepergian yang tidak mengetahui arah tujuan.”
“Mengapa kamu jengkel dan marah-marah disini?”
“Siapa tidak jengkel! Saat ditanya, apa visi misi sekolahnya? Mereka menjawab, ‘Silahkan Bapak baca di banner depan sekolah’!”
Sangat disayangkan memang ketika petugas penerimaan siswa baru atau guru atau kepala sekolah memberikan jawaban secara short cut bahwa visi misi sudah tertulis di dinding. Dengan bahasa tubuh yang jelas, kita disilahkan untuk membacanya sendiri.
Visi misi sekolah menjadi hiasan dinding dan berfungsi ketika sekolah mengikuti akreditasi. Selepas akreditasi selesai, kehidupan sekolah berjalan normal. Warga sekolah merasa tidak perlu lagi mengaitkan aktivitas pembelajarannya, bahkan tidak perlu lagi menata secara terus menerus cara dan sikap berpikirnya agar sejalan dengan visi misi sekolah.
Fakta seperti itu menunjukkan ketidakpahaman tentang jangka panjang arah pendidikan yang mereka selenggarakan di sekolah. Biasanya mereka sebatas memahami pencapaian jangka pendek, misalnya rata-rata nilai mata pelajaran naik; nilai ujian sekolah meningkat; target jumlah siswa baru terpenuhi. Selebihnya, aktivitas belajar mengajar di sekolah adalah rutinitas yang dijalankan tanpa ruh, gairah, semangat mewujudkan visi sekolah.
Tidak sedikit guru atau kepala sekolah gelagapan saat ditanya visi misi sekolah. Dipikirnya pertanyaan itu sangat jarang diajukan oleh calon wali siswa baru. Hanya pengawas pendidikan atau petugas akreditasi sekolah yang secara formalitas kerap menanyakannya.
Jadi, klop alias setali tiga uang. Warga sekolah dan calon wali siswa baru tidak menempatkan visi misi sebagai urusan primer yang wajib diketahui. Mengetahui arah pendidikan jangka panjang kalah oleh pertanyaan seputar biaya masuk sekolah dan biaya bulanan. Tentang bagaimana visi misi dan tujuan sekolah menggerakkan program sekolah, menginspirasi semangat guru dalam melayani siswa, menuntun pembentukan karakter warga sekolah – semua itu tidak menjadi pertanyaan primer. Pragmatisme sekolah.
Urusan memilih sekolah terpangkas hanya urusan kalkulatif finansial. Diskusi yang berkembang di tengah pembicaraan publik pun akhirnya terbatas pada berapa jumlah rupiah yang beredar di setiap sekolah. “Jangan sekolah di sana. Mahal!”. Atau “Aku pilih sekolah ‘A’. Biayanya murah dan terjangkau.” Atau dengan rasa bangga seorang ibu berkata, “Anakku diterima di sekolah ‘B’. Sekolahnya bagus. Biayanya juga mahal!”
Maka saya selalu angkat topi untuk penggiat pendidikan yang tidak terjebak di arus materialisme biaya sekolah. Mereka tidak terseret arus sikap berpikir sebagian kalangan yang menyatakan bahwa bersekolah itu memerlukan biaya yang mahal. Semangat memberikan pendidikan dengan biaya yang murah bagi kalangan bawah, tercermin dari ungkapan sahabat saya, pengabdi pendidikan di kabupaten Malang selatan: “Sekolah kami memang murah tapi tidak murahan.”
Sekolah yang terletak di pojok dusun kabupaten Malang selatan itu tidak memiliki fasilitas kolam renang. Kalau harus membangun kolam renang pasti tidak sedikit biayanya. Tapi anak-anak di sana tetap bisa belajar berenang. Tuhan telah menyediakan fasilitas alam sebagai sarana belajar. Anak-anak itu belajar berenang di muara sungai. Di sana mereka juga belajar tentang lingkungan hutan bakau, kehidupan biota di sekitar pantai, sambil terlibat langsung gerakan memelihara lingkungan.
Sekolah berbasis komunitas mengakar dan tumbuh, menjawab keprihatinan kita atas mahalnya biaya sekolah, atas terasingnya sekolah dengan lingkungan, atas arus materialisme yang menyerimpung sekolah, atas berbagai persoalan pendidikan yang kehilangan jati dirinya di tengah bangsa besar bernama Indonesia.
Sekolah memungut biaya setinggi langit namun tidak untuk pendidikan. Karena semangat utama pendidikan adalah belajar dari. Seorang anak nelayan bisa belajar dari pantai, air laut, arah angin, jalan ikan. Seorang anak petani bisa belajar dari musim tanam, karakter musim, hama, padi, air. Seorang anak pedagang asongan bisa belajar dari keringat menjajakan makanan, terminal, Satpol PP. Seorang anak yang tinggal di pedalaman hutan bisa belajar dari gunung, bukit, pepohonan, binatang.
Alam Indonesia bersama ragam suku dan budayanya adalah kurikulum besar, sumber belajar yang melimpah-limpah. Anugerah itu jangan ditelantarkan begitu saja hanya karena anak-anak bangsa terkendala oleh biaya sekolah yang mahal.
Satu saja pertanyaan untuk direnungkan: apakah anak-anak kita memerlukan biaya sekolah semahal itu? []
Jagalan 210616
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H