Mohon tidak salah paham atau menyebarkan paham yang salah. Bukan terutama karena pesantren kilat atau yang dikenal dengan “sanlat” tidak penting. Bukan terutama sebab kegiatan yang dijalankan di bulan Ramadhan itu sia-sia tiada hasil. Tulisan ini mengajak kita kembali pada pemikiran dasar bahwa pendidikan tidak pernah meraih hasil dalam waktu yang sangat singkat. Pendidikan – ibarat orang menanam – tak ubahnya seperti menebar benih bagi tanaman masa depan.
Bermula dari keluhan seorang teman yang bersikap uring-uringan terhadap kegiatan pesantren kilat yang diselenggarakan oleh sekolah. “Kegiatannya baik dan layak didukung,” ungkap teman saya, “Tapi mbok ndak usah pasang janji yang muluk-muluk!”
“Muluk-muluk bagaimana?” penasaran saya dengan ceritanya.
“Pesantren kilat yang diselenggarakan hanya dua hari ditambah satu malam menginap di sekolah, katanya, siap membentuk siswa yang bertauhid dan beriman kuat serta mencetak siswa berkahlak mulia. Cita-cita yang sangat agung dan mulia itu – bayangkan – diraih cukup dalam waktu dua hari satu malam. Edan! Guru-gurunya pasti dari golongan para malaikat!” ungkap teman saya sambil tertawa nyinyir.
Tertawa saya pun meledak. Ia berbicara dengan logat dan gaya layaknya pengamat pendidikan kelas wahid.
“Kamu mestinya bersyukur!” saran saya, “Anakmu bersekolah dan dibimbing oleh guru-guru hebat berkualitas. Mereka sanggup melakukan gerak percepatan pendidikan sedemikian kilat sehingga hanya memerlukan waktu tidak lebih dari tiga hari untuk mencetak generasi islami.”
“Halaaah…kamu malah meledek. Kita berpuasa sebulan penuh belum tentu lulus menjadi hamba yang bertakwa. Kok ada kaum terdidik menawarkan iming-iming yang tidak masuk akal.”
***
Apa yang disampaikan teman saya merupakan overpromise yang kerap menjangkiti dunia pendidikan. Dalam kasus ini yang terjangkiti adalah kegiatan pesantren kilat atau pondok ramadhan yang menjamur di sekolah. Harapan yang terlalu naif dan terkesan tidak masuk akal. Atau munculnya harapan semu ini jangan-jangan merefleksikan sikap putus asa masyarakat atau wali murid terhadap gagalnya institusi pendidikan formal menegakkan pilar-pilar pendidikan akhlak.
Di tengah momentum ramadhan yang menyulap hampir semua aktivitas berbaju islami, mencuat harapan bagi terciptanya generasi bermoral dan berakhlak mulia. Semua mendadak religius, ungkap teman saya. Momentum yang ditangkap secara gagap dan kehilangan rasionalitas. Mumpung ramadhan tiba mari menanam harapan setinggi langit. Anak-anak harus berubah menjadi insan yang mulia – dalam waktu sesingkat mungkin.
Problemnya adalah, katakanlah, merubah perilaku yang tidak berakhlak mulia menjadi berakhlak mulia dalam waktu yang cukup singkat. Mengapa menjadi problem? Ramadhan dengan segala keistimewaan di dalamnya bukanlah alat untuk melegitimasi percepatan hasil pendidikan. Adapun malam lailatul qadar misalnya, dijadikan sebagai malam percepatan yang lebih baik dari seribu bulan merupakan Hak Mutlak Allah. Kita tidak bisa ikut-ikutan merampas jatah takdir lalu menjanjikan percepatan bagi hasil pendidikan seenak yang kita mau.
Kata kaum sufi, kita hidup di wilayah makhluk. Di wilayah kemakhlukan, mencapai sesuatu, dalam hal ini meraih tujuan pendidikan, diperlukan tahapan-tahapan dalam rentang waktu yang tidak sekedipan mata. Bila ada lembaga atau sekolah yang menawarkan pencapain tujuan pendidikan dalam waktu singkat, dengan cara-cara instant, bisa jadi kita dibohongi. Sekolah yang menawarkan overpromise!
Mengapa overpromise muncul di tengah praktek pendidikan? Bahkan pesantren kilat dan pondok ramadhan terpapar ketidakrasionalan yang sama? Karena kita menyerahkan tanggung jawab pendidikan bukan pada pihak yang tepat. Dalam hal ini kita perlu sepakat bahwa tanggung jawab pendidikan yang utama bukan pada sekolah melainkan pada orangtua. Keluarga merupakan pondasi dan pilar utama pendidikan.
Artinya, tanggung jawab mendidik anak sejatinya bukan tanggung jawab institusi sekolah. Sekolah dan para guru hanya membantu. Mereka berperan sebagai pihak sekunder. Pelaku primer pendidikan tetap orangtua. Patut disayangkan ketika peran dan fungsi utama bergeser dan diambil alih sekolah. Orangtua cuci tangan. Beban moral dan tanggung jawab berpindah ke pundak guru.
Anehnya, dalam beberapa kasus, situasi itu dimainkan dan dimanfaatkan oleh sekolah untuk menjaring siswa sebanyak-banyaknya. Ujung dari permainan ini adalah sekolah meraup laba materi yang tidak sedikit. Setali tiga uang, sekolah untung, orangtua siap membayar berapapun uang pendidikan yang diajukan sekolah. Sekolah pun tidak segan mengumbar janji.Terjadilah transaksi, atau gamblangnya, jual beli pendidikan. Para pakar menyebutnya komersialisme pendidikan.
Jadi overpromise itu muncul akibat dari komersialisme pendidikan. Bila itu terjadi di sekolah swasta, maka yang pasti untung adalah pemilik modal di sekolah itu. Bagaimana dengan guru? Guru cukup memperoleh tetesan gaji kalau bisa jangan sampai terlalu besar. Pemilik modal dan orangtua silahkan menambahkan satu hal saja di pundak guru: tanggung jawab moral. Bila guru gagal menjalankannya, pemilik modal langsung memotong tetesan gaji guru. Orangtua wajib komplain.
Overpromise pesantren kilat di sekolah ternyata bukan sekedar janji yang melangit. Ia menyangkut banyak aspek, dimensi, dan kepentingan. Cukup teman saya saja yang mengalaminya. Kita berlindung dari praktek pendidikan yang menyesatkan.[]
Jagalan 080616
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H